Read Time:3 Minute, 25 Second
Oleh: Jonathan Alfrendi*
Dalam alam dongeng, kisah kancil sangat lestari sekaligus dianggap sebagai penyihir kelas wahid. Dia sohor karena mampu mengakali hewan lain, bahkan dengan hewan bertubuh besar dari dirinya sekalipun. Karena kemampuan akalnya itulah dia mampu bertahan hidup bahkan kisahnya tetap eksis digunakan generasi bangsa ini.
Dikisahkan, kancil selalu tampil sopan, ramah dan supel, sehingga banyak hewan yang senang bergaul dengannya. Juga memiliki otak cerdas dan mampu menghasilkan ide-ide kreatif saat situasi pelik. Mulutnya sangat terampil dalam mainkan logika maupun kata, membuat hewan lain pun takluk dibuatnya.
Contohnya, dalam hadapi situasi genting tatkala tertangkap menyolong mentimun dan akan disembelih oleh Pak Tani, kancil selamat. Ia menghasut dan memprovokasi si anjing agar mau menggantikan dirinya. Dia berdalih akan dikawinkan dengan putri Pak Tani yang cantik. Idenya cemerlang, membuat si anjing nurut. Kancil pun lolos dari maut, serta terbahak mendengar teriakan anjing yang lemas karena kepalanya digorok Pak Tani.
Bukan cuma anjing. Macan, gajah, dan hewan-hewan lain pun pernah merasakan kelicikan, keculasan, muslihat sang kancil. Hingga kini, dongeng kancil terus direproduksi lewat ragam media, dari komik hingga film animasi, bahkan ia juga menjadi logo dari sebuah majalah atau konten porno. Mungkin karena sifat nakal yang dimilikinya, atau… ah sudahlah!
Sebegitu eksisnya, tak heran kisah kancil turut mendidik penghuni negara ini. Kepicikan, tipu daya dan membodohi orang lain disejajarkan dengan kepintaran. Kelemahan orang lain bukannya diatasi, namun malah dianggap sebagai kesempatan bagus yang harus dimanfaatkan dengan baik. Itu sebabnya, di negeri ini kepicikan dianggap biasa saja, bukan diberantas.
Kini negeri ini bahkan birokrat di kampus ini menerapkan ilmu kancil, terutama pada saat pelaksanaan Wisuda ke-100 Mei lalu. Sekilas, pesta perayaan wisuda tersebut berjalan sukses dan meriah. Namun, bila ditarik beberapa hari sebelumnya tepatnya saat pembagian toga, banyak para calon wisudawan-wisudawati kecewa. Kecewa berat!
Sebegitu beratnya, sampai-sampai sebagian besar dari mereka tersebut menumpahkan kekecewaannya dengan umpatan kepada pihak panitia. Pasalnya, paket toga seperti kalung, jubah, hingga topi wisuda banyak yang cacat. Bila cacatnya bisa dimaklumi, ya tentu tidak ada masalah. Akan menjadi masalah jika cacatnya tersistematis, seperti ada unsur keculasan. Ukuran jubah toga yang kita pesan justru melenceng jauh dari kenyataan. Tidak sesuai permintaan. Misalnya, bagi yang seharusnya memesan ukuran M malah mendapat L, atau sebaliknya, celakanya kawan saya seharusnya mendapat jubah bersize XL malah mendapat size M, jelas tidak sesuai. Alasan panitia, yang ada hanya itu saja, stoknya sudah habis. Loh, kok bisa??
Bukankah para calon wisudawan/ti sudah memesan dari jauh hari dan sudah membayarnya secara lunas. Kualitas dari jubah toganya pun sangat tipis, kasar, gerah karena tidak serap keringat pokoknya tak layak, karna kita sudah membayarnya dengan harga lumayan mahal. Bila dikalkulasikan, panitia mampu meraup dana cukup besar dari perhelatan akbar semacam ini. Untung besar! Tetapi jubah yang dikenakan peserta wisudanya untuk sekali dalam hidupnya, sangat murahan.
Gara-gara perlakuan jorok demikian semakin memperjelek citra birokrasi kampus di mata para peserta wisuda, mungkin juga bagi orang tua mereka. Panitia telah berhasil menggunakan ilmu kancil: mengelabui pihak lain (dalam hal ini peserta wisuda) dalam pengadaan aksesoris toga. Saya tidak tahu persis apakah kualitas jubah toga pada wisuda sebelum-sebelumnya sejelek pada wisuda ke 100. Yang pasti kawanan “kancil” berbusana coklat yang berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan, menguasai sistem kampus ini.
Mungkin tak hanya terjadi dalam kasus perhelatan wisuda. Kaum kancil itu menggunakan sifat-sifat buruknya untuk mengelabui atau membodohi mahasiswa dengan berbagai aturan agar bisa menancapkan kepentingannya. Seperti, kebijakan lahan parkir yang ditentang mahasiswa namun kerap berhenti di telinga para amtenar kampus.
Baliho maupun spanduk revolusi mental kini banyak terpasang di kantor-kantor pemerintah. Beberapa telah berubah mewujudkan pelayanan cepat dan transparan. Tetapi watak birokrasi di kampus ini belum beranjak jauh, sifat buruk kancil masih diternak.
Sesungguhnya sifat jelek kancil bisa dilawan dengan banyak cara, salah satunya dengan membuat sistem yang profesional, kontrol ketat dengan menajamkan sanksi seraya meningkatkan apresiasi. Birokasi kita memang tidak bisa lepas dari intrik kepentingan. Profesionalisme dengan memadukan aturan ketat bisa meningkatkan kualitas pelayanan dan menjamin watak buruk kancilisme tidak leluasa bergerak. Kita berharap dengan cemas agar kejadian memilukan seperti ini tidak lestari pada perhelatan wisuda selanjutnya. Amin.
*Penulis adalah Alumni Pendidikan IPS, UIN Jakarta
Average Rating