Read Time:2 Minute, 48 Second
Oleh: Alim*
Jika ada kematian yang melahirkan perlawanan. Ia adalah Patmi, simbol sebuah perlawanan. Namun perempuan asal kawasan pegunungan Kendeng ini tak kan datang lagi memperjuangkan haknya. Jam 02.55 WIB, menjadi saat terakhirnya menuntut keadilan. Sempat mengeluhkan badannya yang sakit setelah melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Presiden Ia mengalami kejang-kejang dan rumah sakit St. Corolus Salemba menjadi saksi hembus terakhir perjuangannya.
Tapi kematian tak mengakhiri suara protes dan perlawanan yang ia gemakan di depan istana. Suara-suara protesnya terus menggema di sanubari masing-masing rekan senasib seperjuangannya yang menuntut dicabutnya izin PT. Semen Indonesia di kawasan Pegunungan Gendeng. Nampaknya, suara protesnya tak kan pernah berhenti hingga keadilan terbit.
***
Suara Patmi yang menggelora di depan istana bersama rekan-rekannya adalah suara tuntutan keadilan yang terpinggirkan oleh kuasa kapitalisme bernama PT. Semen Indonesia di Pati. Pabrik yang beroperasi melalui perizinan yang diberikan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, bukan saja menunjukkan watak kapitalismenya, yakni untuk meraup keuntungan. Lebih dari itu, banyak hal yang harus dikorbankan dalam tegak dan beroperasinya pabrik ini. Pabrik ini merusak lingkungan hidup di kawasan itu.
Aksi petani Kendeng ini tidak bergerak sendiri. Pada 20 Maret 2017, Muhammad Isnur, pendamping hukum petani Kendeng dari YLBHI, turut serta ‘angkat suara’ di dalam barisan aksi anti pabrik semen ini. Isnur meminta petani untuk tetap melanjutkan aksi dengan menggunakan berbagai alternatif aksi. Terlebih seusai perjumpaan antara perwakilan petani dengan kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki, tidak sesuai dengan keinginan para petani.
Agaknya karena alasan ini, suara Patmi dan rekan-rekannya, perlu untuk terus digemakan. Suara mereka merupakan suara kita. Ada universalitas nilai di dalam gerakan yang mereka usung melalui aksi pasung. Apa yang bisa dilihat sebagai nilai universal dari gerakan ini tak lain adalah kepedulian mereka atas persoalan lingkungan.
Suara protes mereka mengandung suatu kepedulian yang mendalam atas lingkungan kawasan pegunungan Kendeng, tempat mereka tinggal: sisi lain yang tak dirasakan oleh sikap sempit pabrik semen yang terpasung oleh orientasi laba. Mereka – para petani melalui aksinya yang menentang pabrik semen – mengisyaratkan bahwa lingkungan hidup juga membutuhkan kepedulian dari manusia.
Lingkungan hidup yang berada di sekitar kita bukanlah wujud mahluk lain yang melulu jadi objek eksploitasi manusia. Memang, ia mengandung kekayaan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Ia memberikan penghidupan. Ia adalah anugerah. Tetapi justru di sinilah soalnya. Alam sekitar juga memerlukan kasih sayang manusia – rasa peduli yang mewujud dalam sikap dan tindakan. Alam dan manusia adalah sepasang kekasih yang dalam interaksinya haruslah saling mengimbangi. Ada interaksi yang berupa “simbiosis mutualisme”: hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Ada ‘take and give’ diantara keduanya. Wujud sikap dan tindakan yang semacam ini melahirkan harmoni.
Para petani Kendeng meyakini soal ini. Mereka menunjukkan harmoni alam hanya bisa diraih melalui cara-cara yang manusiawi: peduli atas alam seperti menunjukkan kasih sayang kepada manusia yang lain. Dengan kata lain, sikap yang manusiawi harus pula ditunjukkan kepada alam. Mereka menunjukkan alam adalah rekan bukan sekedar budak dari keinginan manusia. Ego untuk sekedar meraup keuntungan dan memosisikan alam sebagai objek eksploitasi inilah yang mereka lawan.
Sampai sejauh mana sikap kita kepada alam melulu ditentukan oleh egoisme ini – hirarki tuan dan hamba dimana manusia sebagai tuan dan alam sebagai hamba yang dieksploitasi – agaknya sampai sejauh itulah protes Patmi dan rekan-rekan terus relevan. Protes mereka adalah representasi kemanusiaan kita atas alam.
*Penulis asalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat
Average Rating