Read Time:3 Minute, 16 Second
Mei 1998 mahasiswa menjadi saksi hidup sejarah berakhirnya rezim orde baru. Di tahun ini mahasiswa berhasil menjatuhkan kursi kepresidenan yang dipimpin Soeharto. Sebab, Soeharto adalah sosok pemimpin yang otoriter. Di bawah kepemimpinannya terjadi berbagai macam penyimpangan, diantaranya marak terjadi korupsi, kolusi, nepotisme, dwifungsi ABRI, dan krisis moneter yang melanda Indonesia.
Permasalahan yang muncul dalam pemerintahan Soeharto ini membuat hampir seluruh mahasiswa dari berbagai almamater melakukan demonstrasi. Sebagai salah satu universitas yang ikut terlibat, perlu kiranya menelusuri lebih dalam peran aktfis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—saat itu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta—. Sebagai langkahnya, Reporter Institut Egi Arianto dan Elsa Erika melakukan wawancara khusus dengan mantan aktivis UIN Jakarta Ray Rangkuti yang menjadi koordinator aksi demonstrasi Mei 1998.
Apa latarbelakang mahasiswa UIN Jakarta terlibat dalam aksi Mei 1998?
Sama dengan universitas lain, aksi mahasiswa UIN Jakarta pada Mei 1998 dilatarbelakangi keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan negara. Khususnya setelah terjadi kelesuan dalam kegiatan dagang, dan industri. Kelesuan itu membuat mahasiswa cepat tertarik dengan isu politik, lalu turun aksi, dan menumbangkan Soeharto. Tapi tentu saja itu bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ada faktor internal dan faktor eksternal yang melatarbelakanginya.
Seberapa sering mahasiswa UIN Jakarta terlibat dalam aksi demo?
Kalau itu tidak terhitung, saking banyaknya hingga membuat mahasiswa memberontak untuk melakukan aksi keluar. Sebab melakukan aksi di dalam kampus tidak ada respon dari pemerintah. Akhirnya kami melakukan aksi di luar kampus. Meskipun melakukan aksi di luar kampus merupakan hal yang sulit. Jangankan aksi di luar, aksi di dalam kampus saja mendapat perhatian ketat pihak kepolisian. Bahkan saat terjadi bentrok di UIN Jakarta sebelum terjadinya pendudukan gedung DPR, pihak kepolisian mengerahkan helikopter untuk melerai bentrokan.
Apakah ada korban dari UIN sendiri?
Waktu aksi besar-besaran dan pendudukan gedung DPR itu tidak ada korban dari UIN Jakarta. Tapi sewaktu terjadi bentrok besar yang terjadi di kampus UIN Jakarta, delapan orang luka-luka, diantaranya tiga dari polisi, dan lima dari mahasiswa.
Apa kendala yang dihadapi dalam aksi 1998?
Kendala yang dihadapi tentu banyak, tidak seperti sekarang. Kendala pertama yaitu berhadapan dengan aparat penegak hukum. Kendala kedua adalah perlu adanya usaha meyakinkan massa untuk bergabung dalam aksi. Jadi massa perlu diyakinkan dahulu baru mereka mau bergabung.
Apakah ada halangan dari pihak rektorat saat melakukan aksi?
Justru saat terakhir waktu mau ke DPR pihak rektorat terlibat. Sampai-sampai rektorat membuat perintah semua mahasiswa wajib ikut dalam aksi ini. Bahkan, pihak rektorat juga membuat surat tuntutan pengunduran Soeharto yang kemudian surat itu ditandatangani rektor di seluruh Indonesia. Dana aksi juga merupakan hasil sumbangan dari civitas akademika UIN Jakarta.
Jadi UIN Jakarta itu serba mendahului saat itu. Pertama, UIN Jakarta adalah pembawa massa besar dengan jumlah hampir lebih dari tiga ribu orang untuk menduduki DPR. Kedua, Rektor UIN Jakarta adalah rektor pertama yang meminta Soeharto turun secara resmi dengan surat yang disertai kop surat rektorat.
Kenapa UIN Jakarta dikenal sebagai sentral aksi tapi yang diingat itu peristiwa trisakti?
Mungkin orang-orang UIN Jakarta bersikap tawadhu. Kerja karena lillahitaala, tidak merasa perlu dikenal, dan tidak perlu dianggap berjasa. Meskipun sekarang rugi juga ya.
Bagaimana tanggapan Bapak mengenai pergerakan mahasiswa saat ini pasca Mei 1998?
Menurut saya mahasiswa sekarang ini tanpa konsep dan tanpa bacaan utuh. Selalu berpegang pada romantisisme terhadap gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya. Mereka beranggapan bahwa gerakan mahasiswa itu harus selalu menjatuhkan rezim. Padahal tidak mesti itu. Jadi, gerakan mahasiswa saat ini tidak ada, mereka tidak bergerak.
Apa harapan Bapak mengenai mahasiswa saat ini?
Berpikir kritis, karena menurut subyektif saya itu yang sekarang sudah hilang pada mahasiswa. Sekarang antara mahasiswa dan siswa itu sudah tidak berbeda. Cara dia berbicara, cara dia bertindak, cara mengambil kesimpulan, menangkap dan membaca berita kadang-kadang tidak jelas. Tidak ada verifikasi, objektifikasi, continuitas, kritisisme, pokoknya berita yang dianggap benar oleh hati adalah benar.
Saya berharap mahasiswa perlu membiasakan diri untuk membaca buku, supaya cara berbicaranya sistematik, ada kesinambungan, tidak terlalu percaya pada media sosial, terbiasa bermain logika, dan mengetahui cara kerja pengetahuan. Lalu bersikap objektif dan rasional.
Average Rating