Sumber: Internet |
Read Time:5 Minute, 36 Second
Lahirnya Pancasila menjadi sebuah unsur sakral dalam peradaban bangsa Indonesia. Konon, tonggak sejarah Pancasila dimulai pada 1 Juni 1945 melalui pidato yang disampaikan oleh Bung Karno dalam rapat besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Cikal bakal lahirnya Pancasila ini yang pada akhirnya akan menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya tersebut, Bung Karno pertama kalinya memperkenalkan “Pancasila” pada masyarakat luas. Pidato tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari rakyat Indonesia.
Kini, saban 1 Juni ditetapkan sebagai Hari lahir Pancasila. Namun, peringatan tersebut belakangan ini hanya sebatas seremonial. Bangsa Indonesia terbilang minim dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini kini tengah melanda seluruh elemen negeri. Sabang hingga Merauke seolah terlibat.
Pembiaran nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila dinilai menjadi faktor utama tergesernya ideologi Pancasila di kalangan masyarakat. Kondisi ini kerap kali memunculkan ideologi baru yang tidak sesuai dengan prinsip bangsa Indonesia. Sebagai momentum peringatan Hari Lahir Pancasila, reporter Institut SHR mewawancarai Ketua Lembaga Kajian Agama dan Gender sekaligus Sekretaris Jendral Indonesian Confernce on Religion and Peace (ICRP), Siti Musdah Mulia terkait memaknai pelbagi nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagaimana seharusnya memaknai Hari Lahir Pancasila?
Memperingati Hari Lahir Pancasila artinya meneguhkan kembali komitmen bersama sebagai bangsa Indonesia. Tatkala kita melihat konstitusiNegara Kesatuan Republika Indonesia terpampang dengan jelas bahwa pijakan berdirinya Negara Indonesia dibangun berdasarkan lima sila. Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dari para founding father bangsa ini. Sebagai anak bangsa, kita harus meneguhkan komitmen tersebut. Salah satu caranya adalah dengan tidak boleh membiarkan ideologi politik lain tumbuh dan berkembang di negeri ini. Komitmen tersebut harus senantiasa dijaga sebagai tonggak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejauh ini bagaimana pengamalan Pancasila di Negara Indonesia?
Pengamalan Pancasila di Indonesia masih sangat minim. Hal itu terbukti misalnya dengan tingkah laku elit politik. dan petinggi negara kurang mengamalkan nilai-nilai yang tertera dalam lima sila. Contoh sederhana sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa—jika semua elemen bangsa Indonesia mengamalkan nilai tersebut, maka tidak akan marak terjadi kasus-kasus korupsi. Mirisnya, prospek keuntungan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Para elit kita tak segan mengadakan kolaborasi dengan pengusaha serakah untuk menjual lahan-lahan potensial. Pada ujungnya lahir konflik agrarian.
Perilaku elit itu juga memacu lajunya keinginan kuatpara kaum radikal untuk mengganti ideologi Pancasila. Fenomena ini disinyalir dari realita di kalangan masyarakat terbuka lebarnya ketimpangan sosial dan ketidakadilan di depan hukum. Pada dasarnya, para penguasa seperti yang layak disebut sebagai pendusta Pancasila. Kedepan kita berharap Pancasila diamalkan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia.
Sila mana yang sering diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat?
Secara keseluruhan pelbagai nilai yang tertera dalam lima sila sering diabaikan. Pasalnya semuasila memiliki korelasi satu sama lain. Tidak bisa yang satu di amalkan dan yang satu diabaikan. Sila pertama –Ketuhanan yang Maha Esa—memang semua orang mengaku beragama, tapi agamanya hanya ada di KTP. Perilaku bohong, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsinya tidak habis-habis. Sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada esensinya membicarakan kepentigan rakyat, tapi diselewengkan untuk tidur siang. Mirisnya, hal seperti itu dipertontonkan secara massif oleh para elit politik kita.
Sila kedua –Kemanusiaan yang adil dan beradab—. Sila ini pun rentan diabaikan. Di Indonesia yang memikirkan aksesbilitas untuk kelompok kecil yang rentan, seperti kelompok difabel dan kaum duafa hanya segelintir orang saja. Saya mengakui beberapa kepala daerah sudah ada yang berpikir tentang nasib mereka yang lemah, namun, saya menyayangkan, setelah 72 tahun Indonesia merdeka hal-hal seperti ini baru mulai dipikirkan sekarang. Kita berharap agar hal-hal seperti ini dapat terus berlangsung.
Sila kelima –Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia— pun rentan tak digubris. Berbicara tentang keadilan artinya kita menyoal tentang tidak adanya diskriminasi, kekerasan, serta eksploitasi. Harapan utama kita ialah kepada kalangan elit, baik itu dari lingkungan pengusaha, politik, korporasi, ataupun birokrasi agar memberi contoh yang terbaik untuk rakyat.
Belakangan ini marak terjadi intoleransi, bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Intoleransi itu artinya tidak menghargai orang lain sebagai manusia. Sebenarnya kasus intoleransi sudah lama menjadi permasalahan yang tumbuh subur di tengah masyarakat. Keberadaannya sudah seperti gunung es. Memang yang diangkat ke ranah publik hanya sebagian saja. Namun pembiarannya sudah sangat lama. Hal tersebut merupakan pengabaian nilai-nilai Pancasila tentang yang tertuang dalam sila ke empat—Kemanusiaan yang adil dan beradab—.
Kondisi ini berimbas terhadap kaum minoritas yang merasa haknya terbelengiu. Seharusnya terhadap sesama warga tidak boleh ada diskriminasi. Mirisnya kasus-kasus kekerasan sering kali dibenarkan oleh para elit politik dan petinggi negara yang ingin mencari gelar, menjaga konstituen, dan menjaga kursinya. Fenomena seperti itulah yang harus menjadi kajian evaluasi para aparat pemerintah.
Sebenarnya pembiaran ini sudah dimulai sejak sebelum masa orde baru yang bersifat feodalistik. Rakyat miskin, dan orang-orang yang tidak sealiran dilarang untuk bersuara. Namun baru sekarang kita menuai dan mengkaji fenomena tersebut sejak Indonesia merdeka.
Bagaimana dengan organisasi masyarakat yang bertentangan dengan Pancasila?
Konstitusi kita hanya mengakui ideologi Pancasila. Otomatis ideologi yang lain tidak boleh dijadikan sebagai ideologi. Jika untuk dipelajari tidak masalah, namun jika diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka akan menodai ideologi Pancasila yang telah dirumuskan oleh para founding fathers.
Belakangan isu Hizbut Tahrir Indonesia ramai diperbincangkan. Ada rencana dari pemerintah untuk membubarkan organisasi pengusung khilafah tersebut. Bagi saya pembubaran HTI tidak bisa hanya dengan pembubaran seperti itu saja. Harus melalui prosedur hukum. Jadi pemerintah tidak boleh semena-mena. Pasalnya organisaisi apapun yang dibubarkan harus melalui prosedur keadilannya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013.
Sejauh mana peran pemerintah dalam menanggapi Ormas anti Pancasila tersebut?
Selama ini peran pemerintah masih lemah dan cenderung ambigu. Pada kenyataannya aparat pemerintah malah memelihara diskriminasi itu untuk kepentingan kepentigan kekuasaan mereka. Beruntungnya sekarang ini penolakan terkait masalah tersebut lebih kencang diteriakkan oleh organisasi-organisasi yang pro demokrasi seperti Indonesian Confernce on Religion and Peace (ICRP), Organisasi Lintas Agama yang menyuarakan perdamaian melalui pendekatan agama. Hal yang sama juga dilakukan oleh organisasi-organisasi lain sejak zaman reformasi. Jangan ada diskriminasi atas nama agama atau apapaun.
Sebagai bangsa Indonesia bagaimana d merawat Pancasila?
Bagi saya merawat nilai-nilai Pancasila itu bukan hanya dihafalkan saja. Lebih lanjut ia juga harus diimplementasikan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tak hanya berpatokan pada individu perorangan, atau kelompok tertentu. Implementasi nilai Pancasila dapat diwujudkan sesuai dengan profesi masing-masing, dari kalangan tingkat bawah hingga tingkat atas.
Misalnya guru dalam menerapkan sila pertama, Ia harus melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Pada sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak boleh melakukan diskriminasi atas dasar apapun di dalam kelas. Selanjutnya pada sila ketiga –Persatuan Indonesia—harus membangun generasi bangsa untuk memperkokoh kesatuan bangsa. Sila ke empat pun tak jauh beda, pada intinya menumbuhkan nilai-nilai demokrasi di tengah kemajemukan. Pada sila kelima pun demikian. Semua anak bangsa harus sama dihadapan hukum—equality before law—.
Average Rating