Pestarama Wujud Pelestarian Budaya

Read Time:2 Minute, 32 Second

Senin, 22 Mei 2017 HallStudent Center (SC) terlihat berbeda. Berbagai macam hasil olahan bambu menghiasi setiap sudut tempat berukuran 25 meter itu. Di tengah nampak berdiri tegak boneka manusia dengan kaki kanan menekuk. Pemandangan SC tersebut lebih seperti sebuah pedesaan dengan sorot lampu kuning sebagai penerang.


Memandang ke sisi kiri dan kanan nampak berbeda, dangau beratapkan olahan bambu menjadi pelindung bagi puluhan karya milik seorang sastrawan sekaligus dramawan, Putu Wijaya. Mulai dari poster milik Putu Wijaya yang terbingkai kayu berbentuk persegi, hingga novel karyanya juga ikut dipamerkan. Mendampingi poster dan novel, topeng dan properti pementasan Putu Wijaya tak luput ditampilkan.

Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB, memandang keatas panggung, telah berdiri empat orang, tiga berasal dari grup Nada Renjana dan satu bernama Arief S. Pramono. Tak berselang lama alunan suara gitar mulai nyaring terdengar, membangunkan sorak sorai penonton. Diiringi suara gitar tersebut, salah seseorang diatas panggung mulai bernyanyi.

Ditengah-tengah lagu, penonton dibuat takjub. Seorang laki-laki diatas panggung   membacakan puisi sang maestro Putu Wijaya yang berjudul Cinta. Seusai pembacaan puisi, alunan musik dan lagu kembali dimainkan, hal ini membuat penonton yang menyaksikan merasa terhibur dan pada akhirnya memberikan tepuk tangan.
Kejutan tak berhenti disitu. Setelah paduan musik dan pembacaan puisi selesai, penonton  kembali disuguhi penampilan monolog—pertunjukkan sandiwara yang dimainkan oleh satu orang— oleh  Jose Rizal Manua. Dengan mengenakan baju merah dengan topi putih yang menutupi rambut panjangya, Jose mulai menampilkan bakat aktingnya.

Dalam monolognya, Jose menampilkan adegan bagaimana caranya memikat hati seorang perempuan. Dengan berlutut dan menggenggam sekuntum mawar merah palsu Ia mulai merayu perempuan tersebut. “Biarkan bunga mawar palsu ini menjadi lambang cintaku,” katanya. Sesaat setelah itu, Ia memberikan pesan bahwa laki-laki haruslah bersikap gagah saat memikat hati seorang wanita.

Dengan disisipi homor, Jose menyampaikan pesan sosial kepada para penonton yang hadir. Seperti pesan kesetaraan gender Jose gambarkan melalui ungkapan puan-puan dan tuan-tuan. Kata puan—perempuan—yang diucapkan terlebih dulu ini memiliki arti bahwasanya perempuan memiliki kedudukan yang sama seperti laki-laki.
Demikian sedikit gambaran mengenai pementasan musikalisasi puisi dan monolog karya Jose Rizal Manua. Ini merupakan bagian dari acara penutup Pekan Apresiasi Sastra dan Drama (Pestarama) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan  Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan tema Seminggu Bersama Putu Wijaya.

Tak hanya penampilan musikalisasi puisi dan monolg, dalam acara tersebut panitia meluncurkan buku berjudul Bertolak Dari yang Ada. Menurut Ketua Panitia, Ramadhan mengatakan buku tersebut merupakan bentuk apresiasi UIN Jakarta terhadap karya-karya Putu Wijaya. “Isi buku membahas kumpulan karya-karya Putu Wijaya yang telah didiskusikan,” jelas Ramadhan, Senin (22/5).

Ramadhan menambahkan acara ini bertujuan untuk menambah kecintaan mahasiswa terhadap kesenian dan kebudayaan.  Ia berharap dengan adanya kegiatan ini agar nantinya UIN Jakarta menjadi contoh perkembangan budaya “UIN Jakarta bisa menjadi poros kebudayaan”  tutupnya.

Salah seorang pengunjung, Ernanda Kartika Dewi mengapresiasi acara tersebut. Ia beralasan Pestarama dapat berguna baginya, sekaligus menjadi cara untuk mengapresiasi seni dan kebudayaan Indonesia. “Semoga acara Pestarama bisa diadakan lagi,” tutur Ernanda sesaat setelah acara usai, Senin (22/5).

ND

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Situs Misterius
Next post Peran Mahasiswa UIN Jakarta di Balik Mei 1998