Tidak Ada yang Salah dari Diskusi Tentang 65

Read Time:3 Minute, 15 Second

Oleh Aditia Purnomo*

Seharusnya 2017 adalah tahun pendewasaan bagi bangsa kita. Di tahun ini, Presiden Joko Widodo telah memasuki tahun keempat masa jabatannya. Di tahun ini juga lah reformasi telah berusia 19, hampir dua dekade, dan tragedi kemanusiaan 65 masuk ke usia 52. Sebuah usia dan masa jabatan yang telah cukup untuk disebut dewasa.

Sayangnya angka tersebut hanyalah angka. Di tahun keempat Presiden Jokowi berkuasa, upaya-upaya pelarangan dan pembubaran diskusi serta acara lain terus bermunculan. Mulai dari acara Belok Kiri Fest yang berlangsung tahun lalu hingga yang paling mutakhir, pembubaran seminar serta pengepungan gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia beberapa minggu lalu.
Pembungkaman semacam itu tentu bukanlah hal yang diharapkan dari reformasi. Di usianya yang sudah hampir lewat masa remaja itu, cita-cita tentang kebebasan berpendapat harusnya bukan lagi hal yang perlu diperjuangkan. Ia harusnya telah menjadi hal yang dimiliki semua orang. Dan sayangnya, negara serta pemerintah gagal menjamin hal tersebut.
Persoalan ini memang tidak cuma melanda aktivitas-aktivitas yang berbau 65. Ada juga diskusi atau aktivitas lain yang berbicara tentang hak kelompok minoritas yang dibungkam. Tapi pembungkaman terhadap narasi atas 65 terbilang jauh lebih mengerikan dan cenderung membahayakan nyawa seseorang.
Tentu saya masih mengingat bagaimana ketakutan saya ketika hadir di sekitar gedung LBH Jakarta, dikelilingi massa yang mengepung gedung itu dengan teriakan-teriakan “bunuh” kepada mereka yang ada di dalam. Semua berbicara kalau di dalam gedung Partai Komunis Indonesia yang telah lama mati itu tengah mengadakan rapat, dan mereka merasa perlu membunuh setiap mereka yang ikut acara tersebut.
Apa yang mereka katakan tentang teman-teman saya yang ada di dalam gedung jelas saja keliru. Sejak siang saya ikut terlibat dalam acara asik asik aksi yang berisi penampilan musik serta pembacaan puisi. Hanya acara senang-senang untuk merespon represi terhadap pelarangan seminar sejarah yang hendak dilaksanakan sehari sebelumnya.
Kegilaan semacam itu tentu bukan semata kesalahan mereka yang mengepung LBH. Mereka digiring oleh instruksi dan sebaran poster yang menyebut ada rapat PKI di LBH. Dan semua itu, tentu saja, dilakukan berdasar desain yang matang bukannya secara serampangan.
Memang, sabtu itu di LBH Jakarta hendak dilaksanakan seminar sejarah 65. Acara tertutup yang diadakan sejarawan, pegiat HAM, serta para penyintas 65 untuk menyuarakan narasi lain terkait apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965-1966. Sebuah narasi yang didasari pengalaman para penyintas serta hasil riset para sejarawan.
Suka atau tidak, sudah ada banyak sekali buku-buku berbasis riset terkait 65 yang berisi narasi yang berbeda dengan sejarah resmi versi orde baru. Memang narasi-narasi yang hadir amat mungkin diperdebatkan, tapi saya rasa ada satu hal yang tidak mungkin bisa kita perdebatkan tentang 65. Tentang sebuah peristiwa berdarah yang mematikan sekitar 500 ribu hingga 3 juta rakyat Indonesia. Sebuah tragedi kemanusiaan paling keji sejak perang kedua selesai berkecamuk.
Terserah orang-orang berkata apa, namun kejadian di atas adalah sebuah fakta yang tak mungkin kita bantah. Persoalannya, ada 2 masalah yang hadir kemudian. Pertama negara tidak pernah mengakui kalau pernah terjadi pembantaian massal pada periode 1965-1966. Kedua, masyarakat yang tidak suka belajar sejarah justru menjadi pihak yang paling getol menolak kenyataan tersebut.
Sebenarnya, karena dua persoalan inilah kemudian hadir cukup banyak diskusi-diskusi menyoal 65 yang dilakukan berbagai kelompok. Mereka yang telah membaca riset dan narasi-narasi alternatif tentang 65 hanya mencoba melakukan pembahasan atas bacaan tersebut. Setelahnya, tentu saja hasil kajian serta bahasan yang dilakukan mereka coba disebarluaskan melalui agenda publik seperti seminar atau diskusi.
Pertanyaannya, adakah yang salah tentang hal tersebut? Saya kira tidak. Apa yang dilakukan dalam seminar dan diskusi adalah kegiatan yang sifatnya akademis. Semua dilakukan berbasis ilmu pengetahuan, dan tidak dilengkapi dengan kebohongan yang justru hadir dalam sejarah resmi orde baru.
Kalau pun ada hal yang salah dari kegiatan semacam ini, saya rasa kesalahannya hanyalah satu: bahwa narasi yang didiskusikan tentang 65 itu adalah kebenaran dan hal tersebut mengusik pihak-pihak yang selama ini bisa jadi menutupi narasi itu dengan kebohongan.
*Penulis merupakan Ketua Komunitas Kretek Indonesia

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Catatan Hitam Kuliah Kerja Nyata
Next post Serpihan Kekayaan Alam Indonesia