Read Time:2 Minute, 15 Second
Puluhan Wayang Potehi memenuhi tembok yang didominasi warna putih. Ornamen lampion merah menyala bergelantungan di langit-langit ruangan. Sorot lampu pijar seakan menghidupkan suasana menjadi syahdu. Ditambah dengan alunan musik khas negeri tirai bambu mampu menghanyutkan pengunjung ke masa kerajaan Tiongkok kala memasuki ruang pameran.
Beberapa etalase mengisi tiap sudut ruangan pameran. Etalase tersebut berisikan berbagai macam kerajinan tangan yang berasal dari kayu seperti halnya wayang hingga senjata perang. Selain itu, ada pula manik-manik serta alat musik tradisional Tiongkok misalnya erhu, yana, terompet, siolo, tambur, dan piak-kou.
Sisi kanan ruang pameran terdapat sebuah miniatur kelenteng sebagai panggung pertunjukkan Wayang Potehi. Lengkap dengan atap, jendela dan pintu dengan warna khas Tiongkok, merah. Warna hitam mendominasi panggung tersebut. Ditambah ornamen ukiran berwarna emas dan kain merah bergambar bunga yang menjuntai didepan panggung. Di kedua sisi panggung berdiri kokoh gambar tokoh Wayang Potehi.
Wayang yang berasal dari Tiongkok ini mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16. Wayang ini terbuat dari kayu yang diukir, kemudian dicat menggunakan cat minyak. Lalu dibalut kain menyerupai busana kerajaan Tiongkok. Aksesoris tambahan seperti hiasan kepala dan senjata perang pun disematkan guna membuat wayang berkesan nyata.
Konon, adanya Wayang Potehi berawal dari lima terpidana mati asal Tiongkok yang berusaha menghibur diri jelang eksekusi mati. Salah satu dari mereka kemudian membuat boneka dari bahan kain (poo), kantung (tay), dan kayu (hie). Mereka pun memainkan boneka tersebut menggunakan alat musik sederhana dari wajan, piring hingga panci. Hingga akhirnya karya mereka pun diketahui Kaisar. Kemudian, Kaisar mengundang para terpidana untuk memainkan Wayang Potehi di hadapannya. Tak disangka, Kaisar terpana atas pertunjukan Wayang Potehi. Sejak saat itu, Wayang Potehi berkembang di Tiongkok.
Sempat mati suri pada masa Orde Baru dalam seni pertunjukkan di Indonesia, Wayang Potehi kembali eksis di kalangan masyarakat. Awal perkembangan pertunjukan Wayang Potehi menggunakan bahasa Mandarin. Namun saat ini beberapa daerah di Indonesia, menggunakan bahasa daerah ketika melakukan pertunjukan.
Pameran bertajuk Waktu Hidupkan Kembali Potehiyang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pada 4-12 Mei lalu, sebagai upaya pengenalan kembali budaya kesenian Wayang Potehi. Selain itu, juga sebagai bentuk apresiasi atas karya Toni Suharsono karena telah menghidupkan kembali Wayang Potehi di tengah-tengah arus globalisasi.
Menurut salah satu panitia penyelenggara pameran, Sonny Gunawan, Indonesia menjadi salah satu negara yang masih kental dengan budaya Wayang Potehi. Sayangnya dibeberapa negara, Wayang Potehi telah hilang tergerus perkembangan zaman. “Wayang Potehi termasuk budaya Indonesia yang harus dilestarikan,” ujarnya saat dihubungi via whatsapp, Jumat (11/5).
Salah satu pengunjung, mahasiswi Universitas MH Thamrin, Elsya Maulidia mengaku antusias untuk menyaksikan pameran ini. Menurutnya, pameran ini menambah pengetahuan tentang ragam kesenian dan kebudayaan Indonesia. “Selain barongsai dan liong, ternyata masih ada budaya asimilasi lainnya, yakni Wayang Potehi,” ungkapnya, Jumat (11/5).
RD
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating