Read Time:2 Minute, 58 Second
Zaman semakin modern dengan segala kecanggihan teknologi. Di samping itu Suku Baduy tetap teguh menjaga kebudayaan dan kelestarian alam.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya. Dibalik itu, negeri khatulistiwa ini juga dihuni oleh berbagai macam suku yang tinggal di penjuru nusantara. Salah satunya Suku Baduy. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan mereka hidup bersentuhan dengan alam.
Kawasan Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten masyarakat Suku Baduy tinggal. Dari Stasiun Rangkasbitung, Banten perjalanan ditempuh menggunakan mobil selama tiga jam lamanya. Jalan terjal dan berkelok harus dilalui pengunjung–Peace Train Indonesia–untuk sampai ke Ciboleger—pintu masuk menuju perkampungan Baduy. Hamparan sawah dan pepohonan hijau memanjakan mata sepanjang perjalanan.
Setiba di Ciboleger perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak. Penuh bebatuan, pengunjung berjalan selama satu jam. Menjelang malam, akhirnya tiba di daerah pemukiman penduduk Baduy. Pemukiman gelap gulita tanpa penerangan. Gemericik air sungai mengisi sunyinya malam. Kedatangan kami disambut hangat oleh warga dan kepala Suku Baduy. Singgah di rumah salah satu warga dengan hidangan Pepes Belut menjadi ucapan selamat datang setelah melalui perjalanan panjang.
Ada yang berbeda dengan bangunan rumah Suku Baduy. Rumah-rumah panggung berdiri saling berhadapan menghadap Utara dan Selatan. Lantai ruangan tebuat dari anyaman bambu sedangkan atap rumah dilapisi dengan daun kelapa. Nuansa alam begitu terasa, bahkan perabotan rumah seperti gelas pun terbuat dari bambu.
Menjaga Alam
Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak. Sepenggal peribahasa adat Suku Baduy yang menyiratkan pesan untuk melestarikan alam. Kalimat tersebut dapat diartikan “Gunung tidak boleh dihancurkan, dan lembah tidak boleh dirusak.” Pesan inilah yang dipegang teguh oleh masyarakat Baduy untuk terus menjaga kelestarian alam. Sejak ratusan tahun lalu, mereka hidup sebagai suatu kelompok yang jauh dari modernitas.
Suku pedalaman yang terletak di wilayah dengan luas kurang lebih 5000 hektar ini terdiri dari Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Untuk mengenali masyarakat dari keduanya dapat diketahui dari baju dan ikat kepala yang dikenakan. Lelaki Baduy Dalam mengenakan ikat kepala dan baju berwarna putih. Sedangkan baju hitam dan ikat kepala biru hitam bercorak kreweng terwengkal dikenakan lelaki Baduy Luar. Di samping itu, wanita Baduy—baik Baduy Dalam maupun Luar—mengenakan sarung batik biru, kemben biru, dan baju luar putih berlengan panjang.
Masyarakat Baduy Luar mulai mengikuti modernitas. Tampak dari aktivitas sehari-hari seperti jual beli hasil kerajinan mereka kepada masyarakat luas. Beberapa dari mereka juga telah mengenakan ponsel. Berbeda halnya masyarakat Baduy Dalam yang tak diperkenankan mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Kearifan lokal sangat dijaga oleh mereka. Begitu juga dengan kelestarian alam dan lingkungan.
Kepercayaan Leluhur
Masyarakat Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini bahwa Nu Kawasa sebagai pemegang kuasa tunggal. Tak hanya itu, mereka juga beranggapan masyarakat di wilayah Pegunungan Kendeng termasuk keturunan Batara Cikal, satu dari tujuh dewa yang utusan dari langit. Nabi Adam memiliki hubungan yang erat dengan Batara Cikal. Oleh karenanya, Suku Baduy menganggap Nabi Adam sebagai nenek moyang mereka.
Sejatinya, kepercayaan Sunda Wiwitan masyarakat Baduy bersumber dari ritual pemujaan kepada roh nenek moyang. Kemudian agama lain masuk seperti Buddha, Hindu, dan Islam. Pemujaan ini mengalami akulturasi yang melahirkan kepercayaan yang hingga kini dianut oleh urang Kenekes—sebutan untuk orang Baduy.
Hingga kini, kepercayaan Sunda Wiwitan yang diyakini oleh orang Baduy belum diakui sebagai sebuah agama di Indonesia. Meskipun begitu, mereka tetap memegang teguh kepercayaannya.
Sama halnya dengan Pikukuh—adat istiadat—bagi mereka ialah harga mati. Kebiasaan yang tidak pernah dilakukan oleh nenek moyang tidak boleh dilakukan juga oleh orang Baduy Dalam. Begitu juga makanan yang tidak pernah dimakan nenek moyang tidak boleh dimakan oleh mereka. Bahkan bagi para pelanggar larangan tersebut dapat dikeluarkan dari Baduy Dalam.
Siti Heni Rohamna
Average Rating