Lawan Radikalisme atau Bungkam Demokrasi?

Lawan Radikalisme atau Bungkam Demokrasi?

Read Time:3 Minute, 5 Second

Lawan Radikalisme atau Bungkam Demokrasi?

Isu radikalisme laris menjadi dagangan politik di awal kinerja Kabinet Indonesia Maju. Dengan dalih membungkam radikalisme, tindakan pemerintah justru dipandang membungkam kebebasan demokrasi.
Isu radikalisme mencuat pesat seiring pengukuhan pemerintahan baru Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Pelbagai kebijakan dan tindakan yang diterapkan rezim Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menaruh perhatian khusus pada isu radikalisme. Dengan dalih menangkal radikalisme, banyak pihak justru memandang tindakan pemerintah malah membungkam kehidupan demokrasi.
Menengok ke belakang, isu radikalisme kembali santer menjadi pergunjingan publik tatkala proses pemilihan puncak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Juni 2019 silam. Pelbagai isu menghantam lembaga independen negara tersebut. Namun yang paling menyita perhatian masyarakat, tatkala KPK diserang dengan isu radikalisme sebagai sarang Taliban oleh sebagian kelompok.
Seorang pegiat media sosial (medsos),  Denny Siregar ikut meramaikan isu Taliban di tubuh KPK melalui laman Facebook (Fb). Dengan tajuk Ada “Taliban” di Dalam KPK, Denny memaparkan desas-desus adanya kelompok radikal di tubuh KPK dan potensi bahayanya bagi lembaga tersebut. “Kelompok Taliban ini dikabarkan punya posisi kuat di dalam KPK,” tulis Denny di laman Fb, Sabtu (13/6). 
Pasca redamnya isu radikalisme di tubuh KPK, tak lama permasalahan yang sama hadir di awal pemerintahan ini. Masyarakat pun dibuat risau oleh pernyataan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, mengenai wacana aturan larangan mengenakan cadar bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tak hanya Presiden Jokowi, beberapa menteri sekarang ikut latah mengomentari isu radikalisme.
Terlepas dari masifnya isu radikalisme yang digemborkan pemerintah Indonesia dewasa ini, belum ada definisi pasti pada permasalahan tersebut. Dalam hal ini, tentu tindakan dan kebijakan pemerintah dalam menangani persoalan radikalsime berpotensi salah sasaran. Bahkan bukan tidak mungkin isu radikalisme dijadikan alat politik untuk menjatuhkan kelompok tertentu.  
Menanggapi respon pemerintah dalam pemberantasan radikalisme, seorang Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Firda Salsabila angkat bicara. Menurutnya, jika seseorang dianggap radikal namun tak membahayakan kehidupan bermasyarakat, maka label radikal tak sepatutnya disematkan kepadanya. “Pemerintah masih belum jelas dalam menyatakan parameter radikal seperti apa,” ungkapnya, Jumat (6/12).
Penanganan Radikalisme ASN
Tak sampai disana, dalam menanggapi isu radikalisme pemerintah juga membentuk satuan tugas (Satgas) penanganan radikalisme bagi ASN. Dilansir dari Kementerian Agama (Kemenag), sebelas kementerian dan beberapa lembaga negara bersepakat menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme ASN sebagai usaha penguatan wawasan kebangsaan. SKB yang ditandatangani pada 12 November 2019 tersebut memuat 11 pelanggaran yang diatur di dalamnya.
Hal yang menjadi persoalan, siapa pun bisa melaporkan pelanggaran tersebut melalui saluran situs aduanasn.id. Dalam peraturan ASN tersebut, terlihat bahwa pemerintah mengawasi penuh interaksi sosial ASN hingga di medsos. Banyak pihak menyayangkan seakan pemerintah mengekang kebebasan demokrasi.
Seperti halnya yang diutarakan oleh Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Bidang Sosial Keagamaan Rulitisna Yuliansa bahwa hal yang dilakukan pemerintah dalam membentuk satgas khusus untuk mengawasi para ASN berlebihan. Menurutnya satgas khusus bentukan pemerintah itu seakan menyasar kepada kelompok tertentu. “Terlalu berlebihan dan membuang energi,” tangkas Rulitisna saat ditemui usai menjadi pembicara Seminar Legislatif di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jumat (29/11).
Jika bisa digarisbawahi, menurut Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta Sultan Rivaldy pembahasan isu radikalisme dalam kancah perpolitikan nasional ini terlalu besar porsinya. Seperti yang diungkapkan oleh Sultan bahwa masih banyak porsi pembahasan lain yang harus dibicarakan. “Dari segi politik dosis penekanan isu radikalisme ini terlalu tinggi, dan ini tidak sehat,” tuturnya, Jumat (6/12).
Sementara itu menurut pandangan Pakar Komunikasi Politik Gun Gun Heriyanto, radikalisme dan terorisme betul adanya. Namun pejabat negara jangan terlalu menakut-nakuti masyarakat dengan membuat aturan atau tindakan yang berlebihan. Menurutnya jauh lebih baik membatasi radikalisme melalui kontra narasi dan persuasi langsung ke kelompok-kelompok yang berpotensi radikal. “Hal itu agar warga negara tetap merasa nyaman dengan kebebasannya,” saran pakar komunikasi tersebut, Jumat (29/11).
Sefi Rafiani & M. Rifqi Ibnu Masy

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Radikalisme di Mata Internal Kampus Previous post Radikalisme di Mata Internal Kampus
Situs Batujaya: Sisa Peninggalan Tarumanegara Next post Situs Batujaya: Sisa Peninggalan Tarumanegara