Dilema Sopir Bajaj di Jakarta

Dilema Sopir Bajaj di Jakarta

Read Time:2 Minute, 3 Second
Dilema Sopir Bajaj di Jakarta

Di tengah berkurangnya jumlah bajaj di Jakarta, sopir bajaj terus melanjutkan pekerjaannya meskipun kerap bersaing dengan ojek online.


Sopir bajaj merupakan salah satu profesi yang sering dijumpai di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Bekerja sebagai sopir bajaj pada masa kini tidaklah mudah karena bersaing dengan maraknya ojek online (Ojol) di Jakarta.

Menurut data Laporan Pelaksanaan Pekerjaan (LPP) oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun 2024, populasi bajaj di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta mulai berkurang setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena masyarakat khususnya di Jakarta lebih memilih menggunakan ojol yang lebih fleksibel dan tarifnya murah.

Rudi Wahyudi (49) merupakan salah satu sopir bajaj yang sering menawarkan jasanya di pelataran Stasiun Juanda. Pria asal Jakarta Barat itu sudah menjadi sopir bajaj sejak umur 25 tahun. “Sebelum jadi sopir bajaj, saya kerja serabutan. Setelah dengar dari teman harga jual bajaj bekas murah dan sesuai dengan modal, langsung saja saya beli bajaj pertama kalinya walaupun bekas,” kata Rudi, Rabu (13/11).

Kemacetan hingga cuaca yang tidak menentu menjadi tantangan tersendiri bagi Rudi selama menjadi supir bajaj. “Kadang panas, tiba-tiba hujan. Terus paling kesel sih kalau udah macet, ya. Apalagi kalau dapet penumpang yang rewel,” jelasnya.

Rudi mengungkapkan, alasannya tetap menjadi sopir bajaj yakni kewajiban menghidupi istri dan ketiga orang anaknya. “Ya kalau gak jadi sopir bajaj saya kerja apa? Anak istri saya mau makan apa? Umur saya juga udah gak muda lagi, jadi mau gak mau harus bertahan di pekerjaan ini,” ucapnya.

Pendapatan Rudi menjadi sopir bajaj setidaknya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Rudi mengaku, ia dapat mengantongi upah sebesar Rp150–200 ribu setiap harinya. “Belum lagi dipotong bensin sama makan siang. Ya, bersihnya sih dapet Rp150 ribuan,” sebutnya.

Selain di pelataran Stasiun Juanda, para sopir bajaj juga banyak dijumpai di tempat wisata seperti Kota Tua, Jakarta Barat. Nasrulloh (51), pria asal Ciamis merupakan salah satunya. Nasrulloh sudah menekuni profesi itu sejak 2003. Berbeda dengan Rudi, Nasrulloh pertama kali menjadi sopir bajaj karena diajak oleh teman satu kampungnya yang juga seorang perantau. “Awal jadi sopir bajaj diajak teman sekampung,” ujar Nasrulloh, Rabu (13/11).

Nasrulloh mengeluhkan kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta yang menguras waktu. “Namanya juga kota besar, pasti kendalanya kemacetan. Apalagi saat jam pulang kerja, waduh itu padatnya,” ujar Nasrulloh.

Sama halnya dengan Rudi, Nasrulloh bertahan menjadi sopir bajaj karena faktor keluarga dan usianya yang tidak lagi produktif. “Kadang kalau ngeluh, suka keinget anak istri di rumah. Lagian udah nyaman juga sama kerjaan ini,” sebutnya.

Reporter: lH
Editor: Rizka Id’ha Nuraini

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Menyelami Literasi, Membumikan Eksistensi Previous post Menyelami Literasi, Membumikan Eksistensi
Telisik Partisipasi Ormawa dalam Penyusunan Kode Etik Next post Telisik Partisipasi Ormawa dalam Penyusunan Kode Etik