Sebuah utas Twitterviral Agustus 2020 lalu, membawa nama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ke permukaan. Penulis utas tersebut menceritakan adanya pelecehan seksual oleh dan kepada mahasiswa pada kegiatan Kuliah Kerja Nyata Dari Rumah. Ia juga menulis bagaimana nahasnya korban mengalami victim blaming dari rekan-rekan kegiatannya.
Setelah pelaku mendapat banyak kecaman akibat call-out tersebut, korban pun memaafkan pelaku. “Sudah clear,” ungkap seorang pendamping korban (red: Laporan Utama Institut: Jalan Damai Predator Pelecehan Seksual). Peristiwa yang terjadi pada Jumat (14/8) silam itu diselesaikan secara damai oleh pihak-pihak internal.
Keresahan mahasiswa pun makin menjadi. Pasalnya pada Maret silam, UIN Jakarta gempar akan aksi begal payudara dan ekshibisi alat kelamin oleh orang tak dikenal di lingkungan kampus. Menanggapi hal tersebut, Agustus lalu, Senat Mahasiswa UIN Jakarta pun membentuk Tim Khusus Penanganan Kekerasan dan Pelecehan Seksual (Timsus PKPS) atas keresahan-keresahan yang ada.
“Kami bersama-sama mencari titik terang untuk meminimalisir kasus tersebut,” ujar Koordinator Timsus PKPS Siska Irma Diana saat ditemu pada Selasa (15/9).
Sebagai awal pergerakan, Timsus PKPS mulai menyusun naskah kode etik terkait kekerasan seksual. Hasil telaah dari beberapa kampus lain tersebut nantinya akan diusulkan kepada pihak rektorat agar menindak tegas kasus kekerasan seksual. Mereka juga membuka formulir ‘Suara dari Korban’ bagi mahasiswa yang berkenan membuka suara atas kekerasan seksual yang menimpanya.
“Untuk mekanisme pengaduan dan pendampingan korban, pembahasannya belum sampai ke titik itu, masih dibicarakan,” tambah Siska.
Korban Tak Tahu Tempat Melapor
Setelah kejadian, kebanyakan korban kekerasan seksual mengalami kesulitan harus bertindak seperti apa. Bahkan, sekadar mempersiapkan bukti serta visum pun tak paham, terlebih harus membuat laporan ke mana. Hal tersebut disampaikan oleh Pendiri Samahita Bandung—sebuah komunitas dengan fokus kekerasan seksual dan gender—An Nisaa Yovani.
Yona—begitu ia disapa—mengatakan, stigma masyarakat sering kali memicu korban menyalahkan dirinya sendiri. Pandangan negatif tersebut kemudian juga menyebabkan korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya sehingga tidak mendapatkan pendampingan yang sesuai. Oleh karena itu, jumlah kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es.
“Jumlah kasus sesungguhnya jauh lebih besar daripada yang tercatat,” ujar Yona, Sabtu (17/10).
Seperti yang dikutip dari Tirto.id dalam laporan investigasi #NamaBaikKampus, sebuah survei menunjukkan hanya 24 dari 174 penyintas kekerasan seksual yang melapor ke otoritas kampus. Sebanyak 87 penyintas tidak melapor sama sekali, sedangkan sisanya melapor kepada teman, keluarga, lembaga konseling, maupun sesama penyintas.
Hingga kini Yona sampaikan, kebanyakan kampus belum memiliki mekanisme pengaduan kekerasan seksual yang jelas dan sesuai. Berangkat dari pemahaman yang sama, terbentuklah komunitas mahasiswa yang menyediakan layanan pengaduan korban kekerasan seksual di Universitas Indonesia (UI)— HopeHelps—sejak Agustus 2017 lalu.
“Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual kerap tidak memihak korban, termasuk kasus yang ada di pendidikan tinggi,” ungkap Direktur Jaringan dan Hubungan Masyarakat HopeHelps Network Wildan Teddy saat dimintai keterangan pada Kamis (22/10).
Saat itu, jumlah kasus kekerasan seksual yang meningkat kemudian melatarbelakangi pendirian komunitas ini oleh sekelompok Mahasiswa Fakultas Hukum UI. Tak hanya di UI, HopeHelps pun telah mendirikan cabang di Institut Teknologi Bandung, Universitas Trisakti, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada. Namanya berubah menjadi HopeHelps Network sejak Mei 2020 dan mencanangkan layanan advokasi yang terintegrasi di seluruh kampus Indonesia.
“Bulan depan, HopeHelps akan ada di Universitas Katolik Parahayangan (Unpar),” imbuh Teddy.
Jaringan Kampus untuk Lawan Kekerasan Seksual
Dalam mekanisme pengaduannya, HopeHelps menyediakan e-mail serta hotline yang dapat memberi respons cepat. Sebagai pendampingan awal, HopeHelps menyediakan dukungan psikologis awal atau biasa disebut Psychological First Aid yang dapat siapa pun lakukan tanpa latar belakang pendidikan tertentu. Jika korban membutuhkan konseling profesional, HopeHelps akan menyarankan lembaga atau organisasi terkait.
“Terutama lembaga yang punya perspektif korban dan perempuan, seperti Yayasan Pulih di Jakarta. Namun, keputusan akhir tetap ada pada korban,” ujar Teddy.
Selain konseling, HopeHelps juga menyarankan lembaga advokat apabila korban membutuhkan bantuan hukum. Teddy pun mengungkapkan, HopeHelps akan membuat legal opinion bila dibutuhkan, membuat kronologi dalam bentuk singkat, serta mengumpulkan bukti-bukti relevan.
“Pada tingkat persidangan dalam kampus pun, HopeHelps bersedia mendampingi korban,” tambahnya.
Bagi Teddy, penting bagi seorang pendamping untuk memahami kesiapan korban dengan segala keputusan yang diambil. Pendamping wajib mengedukasi korban dan memberikan saran terkait langkah-langkah yang harus mereka lakukan. HopeHelps sendiri memiliki Anggaran Dasar dan Standar Opersional Prosedur yang memuat mekanisme kerja dan pendampingan.
“Namun perlu diingat, tindakan pendamping harus selalu berdasar pada keinginan korban,” pungkas Teddy.
Selain HopeHelps, ada pula Komunitas Perempuan Medusa Unpar yang didirikan Mahasiswa Hubungan Internasional sekitar 2013—2014 silam. Hal tersebut mereka lakukan atas respons kasus kekerasan dalam pacaran kala itu. Komunitas ini sempat mengadvokasi kasus kehamilan tidak diinginkan saat pihak kampus tak memberikan bantuan sama sekali. Sempat vakum, Perempuan Medusa kemudian aktif kembali berkat Ranessa Nainggolan karena maraknya kasus kekerasan seksual di kampus pada 2018.
“Awalnya ragu karena tak punya modal pengetahuan terkait penanganan dan pendampingan kekerasan seksual,” ungkap Ranessa, Kamis (22/10).
Menurut Ranessa, keberadaan komunitas ini lebih seperti ruang aman untuk para korban kekerasan seksual. Bagi beberapa orang, membagikan pengalaman kekerasan seksualnya mungkin menjadi bentuk pemulihan tersendiri. Diskusi publik dan edukasi terkait kasus kekerasan seksual juga kerap dilakukan.
Hingga kini, Perempuan Medusa memang belum menangani atau mendampingi kasus kekerasan seksual di kampus. Namun, komunitas ini kerap menjadi wadah bagi teman-teman korban untuk bercerita. Meski begitu, keinginan untuk memiliki fungsi penangan dan pendampingan terus Ranessa upayakan.
“Tanggung jawabnya besar, sementara sumber daya manusianya belum cukup. Namun ke depannya, semoga bisa mendapat pengetahuan lebih untuk menangani kasus kekerasan seksual dengan memenuhi hak-hak korban maupun penyintas,” harapnya.
Dahulukan Kepentingan Korban
Dari munculnya berbagai komunitas penyedia layanan penanganan kekerasan seksual—khususnya yang datang dari mahasiswa—Yona menyatakan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Komunitas tersebut harus konsisten dengan perspektif korban, mengedepankan kepentingan korban, dan memikirkan perlindungan dan kerahasiaan korban.
“Jadi, inisiatif untuk membangun komunitas tersebut harus secara menyeluruh,” ungkap Yona
Menurut Yona, orang-orang yang kapasitasnya belum mencukupi dalam menangani dan mendampingi kasus korban kekerasan seksual akan rentan dengan sengaja maupun tidak sengaja mengeksploitasi bahkan mengakomodifikasi kasus tersebut. Banyak dari mereka yang akhirnya punya saviour complex, keinginan untuk menyelamatkan orang lain agar mendapat pengakuan sebagai pahlawan. Padahal menurut Yona, pahlawan itu tidak lain ialah diri korban sendiri sehingga setiap penyintas perlu memahami trauma yang diri mereka rasakan.
“Tugas pendamping ialah membantu kembalinya kekuatan dan kepercayaan diri korban, maka perlu ada peningkatan kapasitas diri pendamping,” sahutnya.
Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram
Average Rating