Minim Aduan Korban Penyiksaan

Minim Aduan Korban Penyiksaan

Read Time:2 Minute, 46 Second
Minim Aduan Korban Penyiksaan

Minimnya pengetahuan masyarakat membuat korban penyiksaan kian bungkam. Bahkan tak jarang pelaku penyiksaan justru mendapat kekerasan saat proses interogasi.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Di Balik Ilusi Populisme Hukum: Impunitas dan Minimnya Komitmen Penghapusan Penyiksaan di Indonesia”. Dalam kesempatan kali ini, hadir Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain LPSK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM turut hadir dalam diskusi tersebut.

Kegiatan ini berfokus pada tindak penyiksaan yang dilakukan untuk mendapatkan pengakuan salah dari pelaku kejahatan maupun secara tidak langsung menutupi tindak salah tangkap. Berdasarkan diskusi telah dipaparkan bahwa sebanyak 14 korban penyiksaan pada rentang usia kurang dari 18 tahun. 

Staf Investigasi dan Penyelidikan Komnas HAM, Darmadi mengungkapkan, penyiksaan dapat bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dan informasi dari korban salah tangkap. Impunitas dalam konteks penegakan HAM di sini merupakan tindakan yang dapat mengurangi praktik penyiksaan. “Apabila salah satu isu penyiksaan terpublikasi, aparat penegak hukum biasanya menutup kasus dengan cara memaksa keluarga korban untuk menolak kelanjutan investigasi,” tuturnya, Rabu (26/6). 

Darmadi melanjutkan investigasi banding merupakan solusi terkait impunitas yang dilakukan aparat penegak hukum. Tahap awal aparat penegak hukum melakukan tugasnya dengan menetapkan pra tersangka atau sekadar menunda kasus agar jurnalis dan keluarga korban melupakan kasus tersebut. 

Tenaga Ahli LPSK, Galih Prihanto Jati mengatakan catatan dari LPSK para korban penyiksaan takut untuk melapor. Selain itu, kurangnya informasi kepada masyarakat terkait  lembaga yang dapat melindungi korban penyiksaan. “Kurang informasi kepada korban. Membutuhkan kerja sama masyarakat untuk membagikan informasi bahwa ada loh lembaga yang melindungi korban penyiksaan tersebut,” jelasnya, Rabu (26/6). 

Tindak penyiksaan merupakan tindakan prioritas di LPSK. Menurut Galih, rasa takut korban menjadi kendala pengaduan kepada LPSK. “Mari bekerjasama untuk memenuhi hak korban,” ajaknya. 

Direktorat Jenderal kemenkumham Dwi Sarwono menurutnya, komitmen pemerintah penting dalam pemberian hak kepada korban penyiksaan. “Tidak menutup kemungkinan terjadi penyiksaan psikis yang dilakukan oleh aparatur negara dan solusi dari kami diberikan sanksi kepada pelaku penyiksaan,” tuturnya, Rabu (26/6). 

Koordinator acara, Dimas Bagus Arya menyebutkan kegiatan ini untuk memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Rabu (26/6). Dimas melanjutkan isu penyiksaan di Indonesia merupakan salah satu isu sensitif karena melibatkan aparat penegak hukum. “Penting untuk mendorong isu penyiksaan supaya Lembaga negara memiliki perhatian terhadap isu tersebut,” sebutnya Rabu (26/6). 

Dalam konteks penegakkan hukum sendiri masih sering menggunakan penyiksaan untuk perbuatan yang tidak dilakukan. Dimas kembali menuturkan,  praktik-praktik yang terjadi masih menggunakan penyiksaan karena menilai polisi yang memiliki arogansi untuk mengakui ketidak sesuaian praktek di lapangan. “Penyiksaan menjadi salah satu metode untuk menghukum tindakan tidak profesional dari Kepolisian,” pungkasnya. 

Nadine Sherani Divisi Advokasi Internasional Kontras mengungkapkan, agenda diskusi ini tidak hanya sebatas memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional. Akan tetapi, juga sebagai dorongan untuk menuntaskan praktik-praktik penyiksaan. “Kami akan terus mengirimkan surat permohonan kepada Komnas HAM, Kementerian Luar Negeri, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian. Kami juga akan terus mempertanyakan terkait angka-angka penyiksaan yang meningkat setiap tahunnya,” tutur Nadine, Rabu (26/6).

Nadine menginginkan diskusi ini dan tindakan advokasi selanjutnya bisa menjadi pengingat untuk masyarakat. Selanjutnya akan ada upaya advokasi yang menghadirkan korban untuk mengekspos kepada publik dan institusi yang bersangkutan. “Supaya publik mengetahu apa yang dirasakan korban dan membantu korban untuk mendapat pendampingan saat rehabilitasi,” pungkasnya.

Reporter : HUC, MSA
Editor : Nabilah Saffanah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Prosedur Berubah, Camaba Jalur Mandiri Resah Previous post Prosedur Berubah, Camaba Jalur Mandiri Resah
Hendak Berlakukan Outsorcing, Pegawai Non-ASN Diberhentikan Next post Hendak Berlakukan Outsorcing, Pegawai Non-ASN Diberhentikan