- UIN Jakarta menjadi kampus impian bagi sebagian calon mahasiswa baru. Berbagai ikhtiar mereka lakukan agar bisa menimba ilmu di sana. Namun mereka juga mengaku pernah mendapatkan berita miring seputar UIN Jakarta.
Sembari mendengarkan gurunya mengajar, Razky diam-diam menyambi momen itu dengan belajar materi tes masuk perguruan tinggi negeri. Lewat sebuah aplikasi daring, ia berusaha keras mempelajari soal-soal materi sosial dan humaniora (soshum). Menyadari latar belakangnya yang dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, ia merasa perlu belajar lebih giat lagi untuk menguasai materi-materi soshum.
Saat dihubungi Institut pada Rabu, 9 Juni, Razky mengatakan memiliki tekad untuk lolos Seleksi Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di program studi Bahasa dan Sastra Inggris. “Aku meminang progam studi Bahasa dan Sastra Inggris,” kata Razky.
Calon mahasiswa baru (camaba) lainnya, seperti Alya Noor, juga merasa kesulitan mempersiapkan diri demi bisa berkuliah di UIN Jakarta. Alya memilih jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM PTKIN). Mempelajari bahasa Arab, menjadi tantangan terberat bagi Alya.
Apa yang ia pelajari dalam kesehariannya di sekolah, berbanding terbalik dengan soal-soal ujian yang bakal dihadapinya. Dia juga berusaha keras mempelajari materi-materi lain yang akan diujikan. ”Mencoba mengunduh berbagai soal UM PTKIN tahun-tahun sebelumnya,” ujar Alya pada Minggu (6/6).
Camaba yang bercita-cita masuk jurusan Jurnalistik itu juga sempat menjajal semua jalur pendaftaran. Menurut Alya, UIN Jakarta merupakan salah satu universitas yang bagus. Pilihan program studi serta jalur masuk yang tersedia juga cukup banyak. Tempat tinggalnya juga berjarak sangat dekat dengan kampus impiannya itu.
Lain cerita, Adildzu Khuluqi Muhammad—akrab disapa Adi—harus berangkat pagi-pagi buta ke sekolahnya guna mengikuti ujian Sistem Seleksi Elektronik (SSE) UM PTKIN. “Pagi-pagi jam lima, aku disuruh tes SSE di sekolah. Apalagi jarak rumah ke sekolah jauh banget dan sampai di sekolah belum sarapan,” keluh Adi, dua hari sebelumnya, Jumat (4/6).
Adi mengaku tertarik menempuh studi filsafat. Menurut Adi, UIN Jakarta merupakan universitas yang mayoritas Islam, besar, dan berkualitas tinggi. Mahasiswa UIN Jakarta, kata Adi, dikenal memiliki daya pikir yang mendalam. UIN Jakarta juga ia nilai memiliki fasilitas yang lengkap, kampusnya nyaman, namun biaya masuknya tetap terjangkau.
Diterima di UIN Jakarta kerap menjadi kebahagiaan tersendiri bagi sebagian camaba. Salah satu camaba yang lolos di program studi Kimia jalur SNMPTN Ayu Dewi Lestari, mengungkapkan rasa syukurnya setelah dinyatakan lolos di UIN Jakarta. Bagi Ayu, UIN Jakarta menjadi harapan terbesarnya untuk berkuliah di universitas negeri. “Aku cuman pilih satu universitas, yaitu UIN Jakarta dan jurusannya Kimia. Kalau tidak diterima di UIN, aku daftar ke swasta,” ungkap Ayu kepada Institut, Kamis (3/6).
Muruah dan Momok
Ketika dihubungi Institut, beberapa camaba mengaku pernah mendengar kabar-kabar miring seputar UIN Jakarta. Saat dihubungi pada Jumat (4/6), camaba Ilmu Politik Akbar Giffari mengatakan, dirinya pernah mendengar rumor tudingan kasus dugaan rasuah terkait pembangunan asrama mahasiswa UIN Jakarta.
Ia juga mendengar kabar bahwa bekas Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta Sultan Rivandi, yang melaporkan dugaan perkara itu malah dijerat pasal Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Giffari mengaku mendapat kabar tersebut dari kerabatnya, salah seorang mahasiswa UIN Jakarta.
Sementara Razky, dia pernah membaca berita perihal dugaan baiat ISIS yang digelar di Syahida Inn, Kampus 2 UIN Jakarta. Camaba lainnya juga pernah mendengar kabar adanya sekte dan aliran melenceng di UIN Ciputatini. Seperti yang diungkapkan Alya, “Kepala sekolahku yang juga alumni UIN Jakarta menceritakan bahwa ada sekte-sekte di UIN Jakarta,” ujarnya.
Tidak cuma itu, Adi bahkan pernah mendengar kabar tentang adanya “jalur orang dalam” atau praktek nepotisme dalam proses penerimaan mahasiswa baru di UIN Jakarta. Kabar miring itu ia dengar dari bibinya yang merupakan pedagang di sekitar kampus UIN. Bibinya mendapati kabar tersebut dari pelanggannya, salah seorang dosen UIN Jakarta. “Kata bibiku, kalau mau bayar 40 juta sudah dapat bangku. Tinggal kuliah saja dan tidak ada tes,” ungkap Adi kepada Institut.
Di samping kabar-kabar miring tersebut, para camaba itu masih berharap bisa melakukan kegiatan normal seperti mahasiswa pada umumnya: belajar dan menorehkan prestasi. Sebagian dari mereka ada pula yang ingin bergabung dengan organisasi mahasiswa, seperti yang digadang-gadangkan Giffari, “Kalau sudah diterima di UIN Jakarta, aku mau masuk himpunan, organisasi, dan unit kegiatan mahasiswa,” tegasnya.
Dambaan Terakhir
Calon mahasiswa jurusan Studi Agama-Agama Rafli Pramudya Pratama, bercita-cita melanjutkan karier pendidikannya di UIN Jakarta. Hal tersebut menjadi impiannya sedari duduk di bangku kelas sepuluh. UIN Jakarta, bagi Rafli, adalah perguruan tinggi negeri yang mengedepankan ilmu pengetahuan umum tanpa menghilangkan nilai keagamaan. Sebelumnya, Rafli pernah berhasrat menjadi peminang di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. “Tetapi terhalang restu orang tua,” katanya, Minggu (30/5).
Setali tiga uang dengan calon mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab Fitri Mawaddah, yang sama-sama berjuang di jalur UM-PTKIN dan SPMB Mandiri. Pada tahun lalu, Fitri juga sempat diterima di UIN Sunan Ampel Surabaya. Nahas, izin orang tua pun menjadi penghalang Fitri yang berdomisili di Jakarta Timur untuk melancong ke kampus impiannya.
Terkait alasannnya memilih studi perbandingan mazhab, Fitri menjelaskan, bicara soal pemahaman dan perbedaan bukanlah perkara yang sesat. Hal inilah yang menjadi alasan Fitri meminang jurusan itu. “Bagaimana kita menyikapi perbedaan antarsesama manusia dan mengajarkan ajaran Islam sesuai ajaran Rasul dan Al-Qur’an,” ucap Fitri pada Kamis (3/6).
Sedangkan Razky yang memilih jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, menempatkan UIN Jakarta di posisi kedua alias terakhir. UIN Jakarta, Razky pilih di urutan kedua, lantaran pilihan pertamanya jatuh kepada Universitas Indonesia. Razky beralasan, jarak rumahnya tak jauh dari kampus kuning itu. “Untuk UIN Jakarta aku kekeh di pilihan kedua,” ungkap Razky.
Menyediakan Tunjangan
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Arief Subhan mengatakan, Beasiswa Layanan Umum (BLU) hadir untuk memfasilitasi calon mahasiswa yang berminat masuk UIN Jakarta. BLU ini dialokasikan kepada jurusan yang mengalami persoalan sepi peminat. Adapun jurusan yang saban-saban mengajukan BLU, didominasi dari program studi keilmuan Islam.
Menurut Arif, sekarang ini orang-orang lebih melirik unsur knowledge economy ketimbang sekedar knowledge. Artinya, pengetahuan yang bertalian dengan pasar kerja menjadi garda terdepan. Sehingga hal ini berimbas pada sepinya peminat di jurusan keagamaan. Meski begitu, pihak Kemahasiswaan juga tidak cuma membuka kesempatan kepada fakultas dengan jurusan keislaman.
Fakultas umum, kata Arief, bisa pula mengajukan BLU apabila terjadi penurunan peminat. Per tanggal 3 Juni, pihak Kemahasiswaan telah menerima pengajuan BLU dari empat fakultas: Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI), Fakultas Ushuluddin, serta Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Calon mahasiswa yang terkendala faktor ekonomi menjadi salah satu kriteria pengantong BLU. “Hal itu menjadi syarat pertama,” ucap Arief kepada Institut di Gedung Kemahasiswaan, Kamis siang (3/6).
Kepala Bagian Kemahasiswaan, Ikhwan menjelaskan, pengantong BLU tidak mendapat uang beasiswa secara langsung, namun langsung dibayarkan ke golongan UKT mahasiswa yang bersangkutan. Pemberian BLU, kata Ikhwan, disesuaikan mulai dari UKT golongan tiga. Hal ini dilakukan sebagai daya tarik bagi calon mahasiswa untuk mendaftar serta menekan lonjakan anggaran. “Selama ia (mahasiswa) dicatat dan menerima BLU, jika di awal mendapat UKT golongan enam (misal) maka akan diturunkan menjadi golongan tiga,” jelas Ikhwan pada Senin siang (7/6).
Mahasiswa pengantong BLU, imbuh Ikhwan, diharuskan menyelesaikan pendidikannya selama empat tahun alias delapan semester. Jika tidak sesuai dengan harapan tersebut, pihak kemahasiswaan dengan tegas akan menarik beasiswa mahasiswa yang bersangkutan dan mengembalikan pembiayaan UKT berdasarkan data awal saat mahasiswa itu mendaftar ulang.
Anggaran BLU dari tahun ke tahun juga tidak pernah mengalami perubahan. Adapun musababnya, UKT tidak pernah naik. Ketika Institut menanyakan perkara UKT yang naik pada tahun kemarin, Ikhwan mengatakan jika itu hanya berlaku pada fakultas umum saja. Sehingga fakultas Islam yang mengajukan BLU tidak berimbas pada kenaikan UKT.
Di Ambang Sepi
Wakil Dekan Kemahasiswaan Fakultas Ushuluddin Edwin Syarif mengungkapkan, ada tiga program studi di fakultasnya yang kerap sepi peminat. Jurusan itu antara lain Ilmu Tasawuf, Studi Agama-Agama, serta Akidah dan Filsafat Islam. Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, total pengantong BLU di fakultasnya berjumlah 208 mahasiswa, dengan rincian: semester delapan ada 71 orang, 33 penerima BLU di semester enam, dua orang di semester empat, dan 32 orang di semester dua. “Tahun 2021 jatah BLU yang didapatkan Fakultas Ushuluddin ada empat puluh beasiswa,” tutur Edwin pada Senin (14/6).
Sementara Dekan FAH, Saiful Umam mengatakan, fakultasnya mengantongi kuota sebanyak 40 beasiswa yang dialokasikan kepada tiga jurusan: Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah dan Peradaban Islam, serta Tarjamah. Nantinya BLU ini berbentuk bebas sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). “Uang kuliah ditanggung oleh BLU, jadi mahasiswa tidak harus membayar uang kuliah lagi,” ucap Saiful pada Senin sore (7/6).
Di Fakultas Syariah dan Hukum, mahasiswa yang hafal Al-Qur’an minimal 3 juz dan fasih berbahasa Arab menjadi kriteria dambaan penerima BLU. Dekan FSH Ahmad Tholabi mengaku telah menyiapkan 40 beasiswa untuk para peminang di fakultasnya. Program studi Perbandingan Mazhab, meski menjadi pengantong BLU, menurut Tholabi tidak pernah kekurangan peminat dari tahun ke tahun.
Tholabi berkata, BLU di FSH bukan sekadar demi menarik minat calon mahasiswa, tapi juga diperuntukkan bagi mahasiswa berprestasi yang terkendala ekonomi. Jurusan yang sepi peminat, kata Tholabi, ialah Hukum Pidana Islam (Jinayah). Kendati Jinayah—bukan pengantong BLU—dan peminangnya juga sedikit ketimbang lima jurusan lain, bukan berarti tidak ada mahasiswa yang berminat. “Masih ada kompetisi dan peminatnya,” ucap Tholabi saat dihubungi Institut, Rabu (9/6).
Manfaat BLU sendiri telah dirasakan sejumlah program studi, salah satunya adalah studi Perbandingan Mazhab. Saat dihubungi Institut pada Senin, 14 Juni, Kepala Program Studi Perbandingan Mazhab Siti Hanna mengaku amat berterima kasih atas kehadiran BLU. Impak yang dihasilkan BLU dalam lima tahun belakangan, telah membuat peminat di jurusannya kian meroket.
Pada 2014 terdapat 91 mahasiswa yang berminat masuk Perbandingan Mazhab, pada 2015 ada 130 mahasiswa, lalu pada 2016 kurang lebih ada 140 mahasiswa. Sementara lonjakan terbesar terjadi pada tahun 2020, yakni sekitar 656 mahasiswa. “Saya amat berterima kasih dengan hadirnya BLU,” sebut Hanna.
Komentar Pengajar
Amirul Hadi, seorang pengajar Sejarah Peradaban Islam (SPI) di Fakultas Adab dan Humaniora, sudah menggeluti profesi sebagai dosen sejak 1998. Di saat bersamaan, ia pernah berkesempatan melanjutkan jenjang magister dan doktor di McGill University, Kanada. Kecintaannya terhadap pengajaran itu membuahkan hasil. Ia pernah ditunjuk sebagai asisten dosen saat masih menyandang status mahasiswa.
Sepanjang kariernya, Amirul juga sempat mengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Namun kini ia sudah menjadi pengajar tetap di Fakultas Adab dan Humaniora. “Sempat berhenti mengajar saat berkuliah di Kanada selama dua tahun,” tutur Amirul, Senin (31/5).
Ketika ditanya terkait persoalan merosotnya peminat beberapa jurusan di UIN Jakarta, termasuk SPI, Amirul sama sekali tidak tahu bahwa jurusannya itu termasuk ke dalam jurusan yang sepi peminat. Dirinya bahkan tidak ambil pusing soal itu. Bagi Amirul, persoalan sepi atau ramainya peminat sebuah program studi, tergantung dari pemahaman mengenai urgensi si peminat jurusan itu sendiri.
Setali tiga uang dengan Amirul, Dosen Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Tantan Hermansyah juga mengaku tidak begitu perduli dengan masalah itu. Ia hanya berpendapat bahwa kualitas sumber daya lembaga perguruan tinggi lebih penting ketimbang kuantitasnya. “Pernah di prodi PMI hanya terdapat tiga kelas, misi kami adalah kualitas mahasiswa dalam bidang pengembangan masyarakat Islam,” ujar Tantan pada Sabtu (5/6).
Sementara Banun Binaningrum, Dosen Aqidah dan Filsafat Islam, memilih untuk mengakui bahwa jurusannya memang kerap sepi peminat. Menurutnya, minimnya peminat pada studi filsafat disebabkan oleh kecenderungan pemikiran masyarakat yang terlanjur menganggap bahwa seorang jebolan filsafat, memiliki peluang kerja yang sempit.
Banun juga tidak menampik fakta, banyak stigma di tengah-tengah masyarakat yang kerap mengaitkan filsafat dengan ajaran sesat. “Kebanyakan masyarakat lebih memikirkan bidang kerja jurusan yang dituju, kesempatan kerjanya sempit dan filsafat dianggap menyesatkan, meski hal ini tidaklah benar,” pungkas Banun, pada Selasa (8/6). (Syifa Nur Layla: INS.021/Ayu Purnami Wulan: INS.002/Didya Nur Salamah: INS.004/Fayza Rasya: INS.007/Gustri Sinta Lestari: INS.011)
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Institut Edisi Ke-45
Average Rating