Pemerintah berencana menarik pajak dari sektor pendidikan lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan Undang-Undang (UU) nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Wacana tersebut menimbulkan berbagai diskursus di masyarakat, salah satunya lewat diskusi publik bertajuk PPN Jasa Pendidikan yang diselenggarakan Departemen Pendidikan dan Penelitian (Diklit) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Diskusi yang berlangsung pada Minggu (27/6) tersebut menghadirkan dua narasumber yang mengulas wacana pajak pertambahan nilai (PPN) pendidikan dari dua segi: pendidikan dan ekonomi. Mereka adalah Koordinator Advokasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ari Hardi dan Head of Research Melek APBN, Fadli Hanafi.
Ari Hardi maju pertama dalam diskusi tersebut. Ia berujar bahwa wacana untuk menarik PPN dari sektor pendidikan berhubungan dengan lolosnya Undang-Undang Cipta Kerja yang dalam proses perumusannya dinilai bermasalah. Dia menyorot Pasal 65 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyebutkan, “Perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha.” Hal ini menurut Ari, mengindikasikan komersialisasi yang marak terjadi di dunia pendidikan.
Ari pun menyorot penggunaan istilah “sekolah mewah” yang digunakan dalam pernyataan Direktorat Jenderal Pajak. Lewat pernyataan resmi di laman Instagram @ditjenpajak, 17 Juni silam, disebutkan bahwa penerapan PPN di sektor pendidikan hanya berlaku bagi “sekolah mewah”. Menurut Ari, ungkapan tersebut sama saja menunjukkan adanya kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. “Berarti ada sekolah yang mewah dan tidak mewah, dong. Hal ini berpotensi menimbulkan kesenjangan,” ujar Ari.
Pengamat pendidikan itu lalu menambahkan, wacana pemberlakuan PPN di sektor pendidikan itu menyalahi beberapa aturan perundang-undangan, yakni Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. “Seharusnya tiap warga mendapat kualitas pendidikan yang sama, baik mereka yang di kota maupun di daerah-daerah,” tegas Ari.
Senada dengan Ari, Fadli Hanafi dalam paparannya juga menyebut bahwa wacana penarikan PPN di sektor pendidikan belum memiliki instrumen yang jelas. “Objek yang dipajaki belum jelas, apakah yang dimaksud mewah sama dengan swasta?” tanya Fadli di sela-sela diskusi. Menurutnya, jika kebijakan tersebut terlaksana, perlu dilakukan pendataan soal konsumen pendidikan swasta, sebab tidak semua masyarakat yang bersekolah di lembaga swasta berasal dari kalangan menengah ke atas.
Fadli juga mengungkapkan, alasan pemerintah memperluas objek PPN disebabkan oleh kontribusi PPN yang cukup tinggi terhadap penerimaan pajak negara, terlebih pada situasi pandemi Covid-19. Menurut publikasi APBN Kita yang dirilis Kementerian Keuangan, kontribusi PPN dalam negeri sebesar 298,84 triliun rupiah. Angka tersebut relatif lebih stabil dibandingkan pendapatan Pajak Penghasilan (PPh) yang mengalami kontraksi di masa pandemi.
Fadli juga berujar terjadi masalah pada realisasi pajak tersebut. Menurut data yang dihimpun melekAPBN, ia menyebut bahwa dari tahun 2009-2019 angka pengangguran lulusan SMK dan universitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan lulusan SD, SLTP, dan SLTA. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktualisasi dari lulusan dengan pendidikan tinggi tidak mampu terserap ke dalam sektor riil. “Jadi, enggak heran kalau kita mengalami deindustrialisasi, karena yang ‘high skill’ itu nganggur,” tambahnya.
Ia menggarisbawahi, jika kebijakan PPN ini terlaksana, maka negara secara administratif harus memastikan bahwa lulusan sarjana dan perguruan tinggi lainnya bisa terserap ke dalam dunia kerja. Perlu dipastikan juga, kata Fadli, kompleksitas dan kerumitan harmonisasi PPN ini bisa diatasi agar realisasi penerimaan pajak Indonesia bisa semakin bertumbuh. (Gianluigi Fahrezi: INS.010)
Average Rating