Tidak Perlu Ada Pasal Penghinaan Terhadap Presiden

Tidak Perlu Ada Pasal Penghinaan Terhadap Presiden

Read Time:4 Minute, 15 Second
Tidak Perlu Ada Pasal Penghinaan Terhadap Presiden

Belum lama ini, pemerintah tengah serius menggarap Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Revisi tersebut menggemparkan banyak pihak, lantaran mengusung wacana Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pelbagai elemen masyarakat pun menilai jika pasal itu akan membungkam kebebasan berpendapat. Terlebih lagi draf RKUHP tidak dapat diakses publik.

Wacana tersebut bukanlah hal baru. Pada 2015 periode pertama Jokowi, pasal penghinaan pernah menjadi kicauan ramai di khalayak. Percobaan menghidupkan kembali pasal tersebut ke dalam RKUHP, bakal berbeda dengan yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Namun pada 2019, pengesahannya tertunda di Rapat Paripurna DPR. Kini,  pasal penghinaan naik lagi ke permukaan dengan narasi yang sama.

Melihat huru-hara atas wacana itu, Institut menilai isu tentang pasal penghinaan itu layak untuk dibahas lebih lanjut. Kepada Wartawan Institut Syifa Nur Layla, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadja, menyampaikan kekhawatirannya terhadap pasal penghinaan hingga prediksinya jika pasal tersebut benar-benar disahkan. “Yang sudah terjadi sekarang, kritik terhadap gagasan membuat para aktivis ditangkap,” ujar Fickar pada Minggu malam, 20 Juni lalu.

 

Sebelumnya pasal itu telah dibatalkan oleh MK pada 2006 silam lantaran tafsirnya rentan dimanipulasi. Kini pasal itu kembali merdu dengan perubahan menjadi delik aduan bukan delik biasa. Bagaimana komentar Anda terkait hal itu?

Bagaimanapun bentuknya, baik delik aduan—pidana yang dituntut jika ada pengaduan ataupun delik biasa—pidana yang dituntut tanpa pengaduan, tetaplah delik. Artinya, tetap tergantung pada presiden dan wakil presiden yang bersangkutan. MK justru mengkhawatirkan pasal tersebut menjadi alat represif.

Keputusan MK bersifat final dan mengikat. Dan kini, pasal itu masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2021. Bagaimana perspektif hukum memandang hal itu?

MK membatalkan pasal itu bukan semata-mata terbatas pada ketentuannya, tetapi dari segi substansi. Menurut Saya, bila substansi kembali dihadirkan, tetap saja bertentangan dengan keputusan MK. Hal ini juga nantinya berimbas pada kerentanan untuk digugat ulang.

Negara seperti Denmark, Islandia, serta Belgia masih mempertahankan pasal penghinaan terhadap kepala negara atau raja, dengan ancaman delik mencapai tiga sampai empat tahun. Apakah Indonesia perlu merujuk kepada ketiga negara itu untuk penerapannya?

Tidak perlu repot-repot menerapkan pasal itu. Menurut saya, rakyat Indonesia itu amat sopan santun. Kendati demikian, mereka acap mengajukan keberatan hingga menghina presiden dan wakil presiden. Namun hal itu dimaksudkan pada jabatan, bukan orangnya. Inilah yang menjadi bukti demokrasi Indonesia berada pada tahap kedewasaaan.

Menurut Anda, adakah perbedaan antara pasal penghinaan yang sudah dibatalkan MK, dengan pasal penghinaan yang baru di RKUHP?

Menurut Saya, tidak ada perbedaan sama sekali. RKUHP yang digetolkan pemerintah itu, menyamakan jabatan presiden dan wakil presiden dengan subjek atau pribadi yang menjabatnya. Selagi itu hujatan pada jabatan presiden dan wakil presiden, bukan pada hal-hal pribadinya—misal mengatai pesek, pincang dan lain-lain, maka itu sama sekali bukan bentuk kejahatan.

Bagaimana urgensi harkat dan martabat presiden dan wakil presiden pada pasal tersebut?

Terdapat kekeliruan dalam mengidentifikasi jabatan dengan pribadi. KUHP warisan Belanda alias kolonial itu, kepala negaranya dipimpin oleh ratu. Impaknya, masa jabatannya menjadi seumur hidup monarki  lantaran dilindungi dengan hadirnya pasal penghinaan. Di Indonesia sendiri, kita sudah sepakat sebagai negara demokrasi—memilih kepala negara dalam tempo lima tahun sekali. Sehingga Saya katakan, pasal penghinaan tidak relevan. Lantaran yang dilindungi adalah subjek atau orang.

Apa yang membedakan kritik dengan hinaan?

Keberatan terhadap suatu gagasan hingga pelaksanaan program, itulah kritik. Namun jika keberatan terhadap subjek atau orang, maka pantas disebut penghinaan. Seperti pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, terdapat gambar kerbau yang tertuliskan nama SBY pada sebuah kalung. Itulah penghinaan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengusung jika pelbagai kasus penghinaan itu dimasukkan sebagai perkara perdata. Tanggapan Anda?

Sangat cocok. Lantaran kerugian yang didapat itu bersifat privat. Sehingga masuk ke ranah keperdataan bukan jabatan.

Banyak pihak yang khawatir akan multitafsir dalam pasal tersebut. Bagaimana perspektif hukum untuk menghindari multitafsir dari penerapan pasal itu?

Agar tidak ada multitafsir, lebih baik meniadakan pasal penghinaan. Apabila presiden dan wakil presiden merasa tersinggung, bisa menutut pelaku yang bersangkutan dengan pasal KUHP yang sudah ada: pasal 310 atau 311 tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.

Dalam KUHP ditengarai terdapat Pasal 315 ihwal Penghinaan Ringan. Menurut Anda, apakah pasal itu sudah cukup untuk merepretasikan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKHUP?

Sudah sangat cukup.

Bagaimana pandangan anda, soal penghinaan yang menjadi delik pidana? Mulai dari  Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga RKUHP di era Jokowi-Ma’ruf?

Pandangan Saya setali tiga uang —sama, dengan MK: tidak perlu ada pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Lantaran berpotensi digunakan sebagai alat pemukul oposisi, biarpun mengkritik presiden dan wakil presiden—jabatannya.

Selanjutnya UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang disebut-sebut pasal karet, lantaran multitafsir sehingga dimanfaatkan oleh penguasa untuk menggebuk oposisi. Kini, pasal tersebut digaungkan sedang proses koreksi.

Bagaimana prediksi Anda terhadap Jokowi-Ma’ruf jika pasal tersebut sudah disahkan?

Mungkin Jokowi-Ma’ruf tidak sekejam yang diduga untuk menuntut rakyatnya yang kritis. Namun keberatan pasal penghinaan ini bukan jatuh kepada yang berjuanda—berkuasa,  tetapi watak kekuasaan yang cenderung berhasrat memukul mundur dan memberangus oposisi. Oleh karena itu, hukum tidak dibenarkan sebagai alat kekuasaan dan fasilitas kepada subjek. (Syifa Nur Layla: INS.021)


Tulisan telah dimuat dalam Majalah Institut Edisi ke-45

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Problematika Data Perlindungan Pribadi di Indonesia Previous post Problematika Data Perlindungan Pribadi di Indonesia
Polemik PPN Sektor Pendidikan Next post Polemik PPN Sektor Pendidikan