Read Time:6 Minute, 3 Second
Buruh perempuan kerap dieksploitasi oleh industri untuk meraup keuntungan semata. Mereka menjadi kelompok yang terpinggirkan dalam hal pemberian upah.
Sudah empat bulan, Murni__bukan nama sebenarnya__telah bekerja di pabrik pengolahan sarang burung walet yang berlokasi di Kabupaten Tangerang. Tempatnya bekerja hanya berjarak tiga kilometer dari rumahnya. Murni setiap hari pergi menaiki angkutan umum. Ia bekerja dari Senin hingga Sabtu, mulai pukul 08.00 sampai 17.00 WIB.
Murni merupakan seorang pelajar dari latar belakang ekonomi kurang mampu. Karena itulah, ia rela menghabiskan waktu luangnya untuk bekerja. Hal itu juga dilakukannya, mengingat kegiatan belajar di masa pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih fleksibel. “Peraturan di tempat kerja enggak begitu ketat, jadi bisa curi-curi waktu buat ikut kelas online,” ungkap Murni kepada Institut, Minggu (7/11).
Namun getirnya dalam bekerja berbanding terbalik dengan upah yang ia terima. Setiap harinya, Murni diminta membersihkan kotoran yang menempel pada liur walet dengan berat setengah kilo. Tidak hanya upah yang kecil, Murni juga harus berhadapan dengan peraturan pabrik yang tidak akan memberinya upah, apabila dalam satu hari, boks yang berisi liur walet itu tidak selesai ia kerjakan. “Satu boks dikasih upah lima puluh ribu,” usebut Murni.
Diakui Murni, hal itu memberatkannya, sebab keterampilan tangannya belum begitu mahir. Padahal, ia sangat membutuhkan upah tersebut. Di masa pandemi, pendapatan ekonomi keluarganya sedang tidak stabil. “Bantu orang tua cari uang, soalnya ibu udah lama enggak kerja semenjak pandemi,” ungkap Murni.
Epi, tentu bukan nama sebenarnya, juga senasib dengan Murni. Posisinya lebih tinggi dibanding Murni, ia merupakan mandor di pabrik tersebut. Lebih dari 8 tahun sudah Epi bekerja di sana. Sebagai ibu yang memiliki dua anak, Epi merasa upah di pabrik walet itu tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hariannya.
Meski begitu, ia masih merasa cukup bersyukur. Sebab, sejak lima tahun terakhir, dia telah dipercaya menjadi mandor. Upah yang diterima saat menjadi mandor, kata Epi, lebih besar daripada saat menjadi karyawan. “Dikasih bonus uang sebagai mandor, tapi itu enggak seberapa,” ungkap Epi, Minggu (7/11).
Cerita serupa, juga dialami Yuni–nama disamarkan, buruh salah satu perusahaan garmen di Kabupaten Bogor. Kepada Institut, Senin (8/11), dia bercerita telah menjadi buruh di sana sejak usia 19 tahun. Kini Yuni berpangkat sebagai asisten operator. Yuni mengaku sering kewalahan dengan pekerjaannya ketika salah satu mesin jahit rusak. Petaka itu kerap memberatkannya. “Ketika mesin rusak, pekerjaan saya menjadi keteteran.”
Target ekspor yang harus dipenuhi oleh perusahaan, memaksa para buruh untuk melakukan kerja lembur. Sistem kerja di perusahaannya menerapkan sistem borongan, sehingga semua pekerjaan yang dilakukan oleh buruh ditetapkan sesuai target. Hal ini dianggap wajar oleh Yuni, “Perusahaan tidak akan maju kalau tidak ada target,” ujarnya.
Di pabrik garmen lain, masih di Kabupaten Bogor, sejumlah buruh perempuan juga kerap dibebani dengan pekerjaan berat. Emi, lagi-lagi bukan nama sebenarnya, diminta untuk menggosok dari pukul 7.30 hingga 16.30 WIB. Jika terdapat lembur, waktu kerjanya bisa bertambah sampai dua jam. “Biasanya saya lembur paling lama dua jam, lalu pulang jam 6 atau setengah 7,” jelas Emi, Senin (8/11).
Tak hanya beban waktu kerja, Emi juga sering dihadapkan dengan target menggosok yang tidak menentu. Setiap harinya, perusahaan memasang target berbeda-beda, tergantung jumlah pakaian yang masuk. “Jika target sewing 100, maka jumlah baju yang saya gosok mengikuti target tersebut,” tambahnya.
Rekan kerja Emi, Reni–nama disamarkan–mengatakan bahwa pekerja tetap mendapatkan upah tambahan ketika lembur. Tapi upah yang diterima oleh buruh terkadang dibayar dengan tidak menentu. Untungnya, buruh tidak akan dikenai hukuman maupun pengurangan upah jika tidak mencapai target. Mereka, kata Reni, hanya akan mendapat teguran saja. “Jika tidak sesuai dengan target akan mendapat teguran. Kalau lembur itu tetap dibayar walaupun enggak menentu,” jelas Reni, Senin (8/11).
Buruh Perempuan Rawan Eksploitasi
Pakar Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Djaka Badranaya, menjelaskan, buruh perempuan rawan menjadi korban diskriminasi dan eksploitasi oleh perusahaan. Menurutnya, industri seringkali menggunakan konsep maximizing profit minimizing cost–memperbesar keuntungan, memperkecil biaya produksi.
Produsen, kata Djaka, lebih tertarik mencari sumber-sumber tenaga yang murah, namun berkualitas tinggi. Sumber tenaga kerja tersebut menyasar pada kelompok yang tidak memiliki daya tawar atas jasanya. Kelompok tersebut biasanya meliputi perempuan dan anak di bawah umur.
Sektor industri juga kerap mengklasifikasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Djaka menegaskan, seharusnya klasifikasi pekerjaan dilihat dari kinerja pekerjaanya. Menurutnya, pola industri demikian tidak luput dari konstruksi sosial dan budaya dari mana individu itu berada. “Cara pandang itu (bias gender) dilestarikan dalam dunia pekerjaan. Itu tidak profesional,” jelas Djaka kepada Institut, Selasa (9/11).
Soal upah pekerja, Djaka mengatakan hal tersebut tidak boleh ditentukan semena-mena oleh perusahaan. Situasi ini dapat diselesaikan melalui Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit, yaitu forum musyawarah mengenai ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja.
Dia menambahkan, sudah saatnya pemerintah fokus meregulasi perilaku-perilaku industri yang destruktif terhadap perempuan. Caranya dengan mengeluarkan kebijakan yang sadar dan sensitif pada gender. Semua gender, kata dia, memiliki kesempatan setara dalam dunia pekerjaan. “Dalam situasi ini, negara perlu hadir dalam mengawasi perusahaan agar tidak melakukan perbudakan terhadap pekerjanya,” tegasnya.
Koordinator Divisi Perubahan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, Dian Novita, dalam menilai persoalan lingkungan kerja yang eksploitatif, yang pertama perlu diperhatikan adalah kontrak kerja. Dengan adanya kontrak kerja, buruh dapat memiliki tolak ukur atas situasi yang mengarah perlakuan diskriminasi. Kontrak kerja pun harus ditanda tangani oleh buruh tanpa mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Menurutnya, para pekerja harus membangun kesadaran terhadap masalah itu sebelum menyepakati kontrak kerja.
Menurut Dian, mekanisme pengawasan Dinas Ketenagakerjaan di beberapa daerah terhadap relasi antara pemilik modal dan buruh, masih bersifat formalitas. Biasanya, pengawasan akan lebih mudah dilakukan jika perusahaan sudah terdaftar dalam Dinas Perindustrian. “Perusahaan yang tidak terdaftar dalam dinas perindustrian akan lebih sulit dipantau dan dilaporkan jika (perusahaan) nanti melakukan pelanggaran,” ungkapnya, Sabtu (27/11).
Ajeng, aktivis buruh perempuan Mahardhika, saat dihubungi Institut pada Kamis (11/11) mengatakan, 90 persen buruh di industri garmen adalah perempuan. Diskriminasi, kata Ajeng, sering menimpa buruh perempuan di industri tersebut. Menurutnya, industri garmen adalah industri yang paling mudah melanggar hak-hak pekerja. Perusahaan garmen sering secara mendadak merelokasikan pabrik dari satu daerah ke daerah lainnya.
Relokasi pun biasanya dilakukan dengan meninggalkan buruhnya tanpa tunjangan. Ajeng menilai mereka sama saja telah melakukan kekerasan terhadap perempuan, namun dalam hal ekonomi. “Tidak ada sanksi apapun untuk mereka (perusahaan garmen), tidak ada yang dikejar,” ucapnya.
Para buruh, khususnya buruh perempuan, menurut Ajeng, harus memiliki organisasi atau wadah kolektif. Organisasi, selain dapat menjadi sarana pemberdayaan, juga bisa menjadi wadah advokasi untuk para buruh. Publik juga berperan penting dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap buruh perempuan, dengan cara kampanye, serta mengedukasi diri dan sesama dengan pengetahuan antikekerasan terhadap perempuan.
Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Republik Indonesia, kata dia, masih berpihak pada perusahaan. Dalihnya: untuk menyelamatkan perekonomian negara. Misalnya, Keputusan Menteri (Kepmen) Ketenagakerjaan Nomor 104 yang menyatakan bahwa saat pandemi Covid-19, perusahaan dapat mengurangi jam kerja dengan menerapkan kerja sif.
Meski begitu, Ajeng tetap menemukan beberapa perusahaan yang kerap melakukan diskriminasi dan eksploitasi terhadap pekerja. Ada perusahaan yang mengatur jam kerja sif dari jam 06.00 sampai 18.00, kemudian sif berikutnya jam 18.00 sampai 06.00. “Ada yang kerja 10 jam, ada yang 12 jam. Dari awal orientasi pemerintah adalah pengusaha, bukan pekerja,” pungkasnya.
Hany Fatihah Ahmad, Anggita Raissa Amini, Ayu Purnami Wulan
Average Rating