Tragedi Kanjuruhan yang terjadi beberapa waktu lalu masih menyisakan luka mendalam bagi berbagai pihak. Negara, PSSI, serta PT LIB menjadi pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini.
Kejadian nahas pada Minggu (1/10) lalu, masih membekas dalam benak seorang pria bernama Imam. Usai menonton pertandingan sepak bola Arema versus Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, para aparat langsung menembak gas air mata ke arah para suporter yang tengah berada di tengah lapangan. Situasi menjadi kacau dan mencengkam. Para suporter berlarian kocar-kacir memadati pintu keluar stadion.
Imam yang kala kejadian itu, posisinya di bagian tengah Tribun. Dia menengok dan menyadari ada gas air mata yang dilemparkan juga ke arahnya. Imam tak tinggal diam. Dia menendang gas air mata itu sekuat tenaga.
Imam berpikir, dirinya lebih baik berjalan dan berdiam sebentar dengan memakai masker di bagian atas Tribun Selatan 13. Alasannya, Imam melihat banyak suporter yang berdesakan keluar. Dia juga memikirkan nyawanya mungkin saja hilang bila berdesakan.
Apa yang Imam pikirkan, ternyata benar. Setelah kondisi mulai sepi, Imam mulai berjalan keluar Stadion Kanjuruhan. Banyak korban yang tergeletak di mana-mana.
***
Imam yang menjadi salah satu suporter Arema, menyayangkan polisi yang salah sangka terhadap para suporter. Mulanya, ada dua suporter Arema yang turun lapangan dengan niat hati memberi motivasi ke pesepak bola Arema atas kekalahan melawan Persebaya. Atas hal itu, para suporter lainnya beramai-ramai ikut turun ke lapangan.
Bagi Imam, hal yang wajar tatkala suporter menghampiri pesepak bolanya untuk memotivasi dan mengungkapkan kekecewaan secara langsung. Tindakan suporter seperti ini, lanjut Imam, kerap terjadi di akhir pertandingan sepak bola level dunia. “Aparat bertindak sangat berlebihan,” tuturnya, Selasa (4/10).
Sementara itu, pengamat sepak bola, Ophan Lamara menyampaikan duka mendalam terhadap seluruh keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Ia mengungkapkan, kejadian kerusuhan di Malang merupakan periode kelam dunia sepak bola, baik secara nasional maupun internasional.
Tragedi Kanjuruhan, ucap Ophan, menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia mundur ke belakang, padahal peradaban manusia saat ini sudah maju. “Ini harus (menjadi) musibah yang terakhir. Semoga menjadi pembelajaran bagi suporter, panitia pelaksana, aparat, dan seluruh pihak terkait,” katanya, Jumat (7/10).
Ophan mengaku kecewa terhadap tindakan aparat yang menggunakan gas air mata untuk menangani suporter yang kurang kondusif. Padahal menurutnya, kejadian tersebut tak melibatkan pertikaian antar suporter, tribun roboh, ataupun stadion kebakaran seperti di negara lain. Menurut Ophan, penyebab utama terjadinya tragedi tersebut sebab konstruksi stadion yang kurang memadai serta tindakan aparat yang terlalu represif.
Ophan menekankan, penyelesaian kasus mesti dilalui dengan pengusutan lebih lanjut serta tuntutan pidana. Hal tersebut dilakukan agar kasus tak berulang sehingga terciptanya pelaksanaan pertandingan yang lebih profesional. “Indonesia perlu belajar ke negara-negara lain seperti Malaysia dan Thailand yang tidak pernah terjadi kematian saat ada pertandingan sepak bola,” ujarnya, Jumat (7/10).
Melihat kasus tersebut, Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie menuturkan ada beberapa hak warga negara yang dilanggar oleh negara. Hak yang dilanggar diatur dalam hak sipil dan politik untuk mendapatkan rasa aman, serta hak ekonomi dan sosial budaya untuk menerima hiburan. “Dua hak tersebut merupakan tanggung jawab negara,” katanya, Senin (3/10).
Berdasarkan pengamatan Andrie, alasan polisi kerap menggunakan tindakan represif sebab hanya ingin menunjukkan kekuatannya. Hal ini menjadi pola berulang polisi bertindak represif. Menurut Andre, tak ada alasan apapun bagi pihak kepolisian untuk menggunakan tindakan represif. Kemudian diperparah dengan aparat yang melakukan tindak kekerasan tidak diadili, ataupun penyelesaian kasus yang berujung alot.
Andrie lanjut menuturkan, ada beberapa aturan internal yang mestinya mengikat pada setiap anggota polisi. Terdapat Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) mengenai pedoman pengendalian massa, yakni Perkap 16 tahun 2006. Kemudian, Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Selain itu, ada juga Perkapolri 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi dalam Penyelenggaraan Tindak Kepolisian.
“Kami melihat ada beberapa hal yang dilanggar, pertama soal prosedur dalam kerangka hukum pidana, kemudian kerangka aturan internal Polri, serta ketentuan dari FIFA,” tambahnya.
Koordinator Amnesty Internasional Chapter UIN Jakarta, Muhammad Rayhan Wibisono menuturkan, dalam kasus tersebut, aksi suporter yang memasuki lapangan masih kerap terjadi di banyak stadion dunia. Perbedaannya dengan tragedi Kanjuruhan, lanjut Rayhan, terletak pada penanganan kerumunan massa. Para suporter bola kerumunannya berpola tidak terorganisir. “Maka dari itu, aksi suporter yang turun ke lapangan dan melanggar aturan adalah pelanggaran,” ucap Rayhan, Senin (3/10).
Rayhan juga mengatakan, seluruh pihak perlu bertanggung jawab secara spesifik. Pihak polisi bertanggung jawab soal kelalaian prosedural yang menyebabkan kematian banyak orang. Sementara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) bertanggung jawab atas kerusuhan penyelenggaraan pertandingan.
Reporter: Haya Nadhira, M.Naufal, Nur Hana Putri Nabila
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating