Kasus narkotika mengetuk pintu lembaga kepolisian. Disebut-sebut dugaan penyalahgunaan wewenang polisi, membuat sejumlah pihak mendorong pembenahan di institusi penegak hukum tersebut.
Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Teddy Minahasa ditetapkan sebagai tersangka dugaan peredaran narkoba setelah diangkat sebagai Kapolda Jawa Timur menggantikan Irjen Nico Afinta, Jumat (15/10). Saat ini, Teddy sedang dalam pengurungan sementara di sel Rutan Narkoba Polda Metro Jaya selama 20 hari. Para penyidik pun tengah menyusun perlengkapan berkas perkara kasus narkotika Teddy.
Keterlibatan Teddy Minahasa mulanya terkuak dari proses penangkapan tiga orang masyarakat sipil oleh penyidik Polda Metro Jaya. Melansir Kompas.com, Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Kombes Mukti Juharsa membeberkan bahwa Teddy Minahasa diduga mengedarkan narkoba jenis sabu-sabu seberat 5 kg, Jumat (14/10) silam.
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ali Irfani mengatakan kasus yang terjadi di kepolisian perlu mengadakan langkah besar serta dukungan dari Presiden Joko Widodo untuk mereformasi total. Sebab, masyarakat akan sulit percaya jika reformasi kepolisian dilakukan oleh polisi itu sendiri. “Kita harus mendesak kepada kepolisian agar segera memperbaiki situasi dari kasus narkotika sehingga kepolisian bisa dipercaya kembali,” ujarnya saat diwawancarai melalui telepon, Rabu (26/10).
Ali berharap, polisi mempunyai kemampuan ekstra yang didukung oleh presiden serta DPR untuk membereskan kasus di lembaga kepolisian. Dengan begitu, pihak kepolisian bisa mengambil kembali nama baiknya di masyarakat. Jika tidak ada pemberesan di lembaga kepolisian, maka demokrasi di tanah air bakal berbahaya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Afif Abdul Qoyim menekankan, ada masalah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Menurutnya, isi pasal dari peraturan tersebut kurang detail serta minim akuntabilitas. Tak ayal jika berdampak pada penyalahgunaan kewenangan pihak kepolisian. “Maraknya kasus penyalahgunaan narkotika oleh pihak kepolisian karena mereka memiliki otoritas dalam menangani kasus tersebut,” ujarnya, Rabu (26/10).
Afif menyorot, Irjen Pol Teddy Minahasa yang berdalih melakukan penjebakan terhadap penangkapan kasus narkotika. Namun, jika dilihat dalam terminologi penjebakan, justru tidak ditemukan. Padahal, skema penjebakan termasuk kewenangan undercover buy (pembelian terselubung).
Sikap profesional dan transparan, ucap Afif, menjadi kunci sukses menjalankan Rule of Law. Artinya, negara tunduk pada perintah hukum, bukan sekadar keputusan para pejabat secara individual. Jika tidak berpaku pada dua kunci tersebut, maka Rule of Law hanya menjadi teori normatif belaka.
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menuturkan kepolisian memiliki kode etik tersendiri untuk menangani kasus anggotanya yang terlibat penyalahgunaan wewenang atas profesi kepolisian. Proses hukum Irjen Pol Teddy Minahasa dilakukan melalui peradilan umum. “Sebab anggota kepolisian bagian dari masyarakat sipil,” ucapnya, Jumat (28/10).
Ardi menyayangkan, belum ada upaya sistematis dari kepolisian dalam membenahi institusi untuk mencegah terulangnya kasus tersebut. Bagi Ardi, sangat memungkinkan kasus narkotika tidak hanya dilakukan oleh Irjen Pol Teddy Minahasa. “Melainkan (ada juga) dari kelompok Polri lainnya,” ujarnya.
Oleh karenanya, tutur Ardi, pihak kepolisian harus bertindak tegas dan terbuka dalam menangani kasus Irjen Pol Teddy Minahasa. Sebab, polisi akan menjadi sorotan publik jika terjadi kejanggalan serta hal–hal tertutup dalam memproses kasus ini.
Reporter: SRS
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating