Fluktuatif Berkelanjutan, Kebijakan BI Menjadi Sorotan

Fluktuatif Berkelanjutan, Kebijakan BI Menjadi Sorotan

Read Time:2 Minute, 8 Second

Program Bank Indonesia (BI) dinilai kurang memperhatikan pengendalian inflasi serta menjaga kestabilan tingkat suku bunga. Masyarakat resah,  pemerintah tidak menguasai pasar. 

Nilai tukar rupiah di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami fluktuatif, dilansir dari berita kompas.id pada tahun 2022 lalu, nilai tukar rupiah melemah pada level 15.592 rupiah per dolar Amerika Serikat (AS). Lalu di tahun 2023 awal, menguat sebesar 3,8 persen dan di pertengahan Februari, kembali melemah menjadi 15.125 rupiah per dolar AS.

Pakar Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ade Sofyan menanggapi ada empat faktor penyebab melemahnya nilai mata uang rupiah. Seperti Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunga, adanya ancaman resesi ekonomi global, tingginya tingkat inflasi dan adanya ulah spekulan—pelaku pasar yang mencari keuntungan besar.

Lanjut, Ade Sofyan juga menilai kebijakan program Bank Indonesia (BI) Inflation Targeting Framework (ITF) yang belum efektif. Sofyan menyarankan, BI untuk memperhatikan pengendalian inflasi serta menjaga kestabilan tingkat suku bunga. “BI harus konsisten menjalankan berbagai strategi dan kebijakan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi,” ucap Sofyan, Rabu (22/2).

Akibat nilai tukar rupiah yang sering mengalami fluktuatif, BI terus memperkuat respon bauran kebijakan menjaga stabilitas pertumbuhan nilai tukar rupiah, seperti mendorong inflasi impor. Lalu, melalui intervensi di pasar valuta asing, dengan transaksi spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) dan pembelian atau penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. “Memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi,” ujar pihak BI saat diwawancarai via Email, Senin (20/2).

Selanjutnya dalam kaitan ini, BI juga berkoordinasi kepada Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) untuk ikut memperkuat mitra strategis masalah inflasi, agar pengendalian  harga komoditas pangan lebih integratif dan masif. Lalu dilanjutkan melalui penguatan program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah. “Dengan adanya kerjasama ini  ekonomi Indonesia akan lebih baik lagi,” kata pihak BI, Senin (20/2).

Taryo, pelaku usaha ekspor impor tahu dan tempe ikut merasakan adanya pengaruh inflasi nilai tukar rupiah pada tahun lalu. Taryo mengaku jika harga kedelai mengalami fluktuasi yang membuatnya resah menetapkan harga jual, hingga terjadinya mogok dalam produksi tahu tempe. “Hal itu terjadi hanya untuk kualitas daya beli kedelai yang bagus,” ucap Taryo, saat di hubungi via WhatsApp, Rabu (22/2). 

Taryo berharap dari adanya inflasi ini, pemerintah harus lebih aktif turun ke lapangan untuk melihat kondisi para pedagang. Dengan begitu pemerintah tahu bahwa realisasi impor barang yang lambat akibat pemerintah yang tidak menguasai stok barang swasta. “Tahu dan tempe tidak akan mogok jika pemerintah menguasai pasar,” pungkas Taryo, Rabu (22/2).

Reporter: PA

Editor: Ken Devina

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Seruan Aksi Tolak Perppu Cipta Kerja Previous post Seruan Aksi Tolak Perppu Cipta Kerja
Perppu Cipta Kerja Memperburuk Krisis Iklim Next post Perppu Cipta Kerja Memperburuk Krisis Iklim