Unjuk rasa mahasiswa terkait evaluasi kinerja kepemimpinan Joko Widodo diwarnai dengan penangkapan massa. Dengan begitu, selain membawa tuntutan aksi, mahasiswa pun bersikeras meminta aparat membebaskan massa aksi yang ditahan.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM SI) menginisiasi demonstrasi terkait evaluasi kinerja Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Aksi tersebut diikuti lebih dari lima puluh kampus berbagai daerah di Indonesia. Demonstrasi dilaksanakan di kawasan Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat pada Jumat (20/10).
Pada aksi tersebut, para mahasiswa membawa tiga belas tuntutan. Salah satu dari tuntutan tersebut, yakni pengusutan tuntas tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Kemudian, tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Istana, Yohanes Joko menemui mahasiswa di lokasi aksi untuk menanggapi segala tuntutan tersebut. Yohanes berjanji akan meneruskan semua tuntutan kepada Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko. “Akan saya sampaikan kepada pimpinan, Pak Moeldoko hari Senin nanti. Sekarang beliau masih di luar negeri,” ucapnya, Jumat (20/10).
Di samping terselenggaranya aksi tersebut, ada lima belas mahasiswa yang ditahan oleh aparat kepolisian. Dua belas diantaranya berasal dari Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Terpadu Nurul Fikri yang ditahan di Stasiun Gondangdia saat menuju lokasi aksi. Tiga lainnya merupakan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Bergerak yang ditahan pada sore hari karena menerobos barikade.
Sejak sore, massa aksi menuntut pembebasan para mahasiswa yang ditahan. Lalu, pembebasan dilakukan setelah adanya negosiasi antara Yohanes dengan Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro. “Akan kami bebaskan. Mereka sedang dibawa ke sini,” ucap Susatyo, Jumat (20/10).
Korban penangkapan yang tergabung dalam GMNI Jakarta Bergerak, yaitu Apriliano Bayo Lede, Ulyanov Umboh, dan Romario Simbolon, mengaku mendapat tindak represif dari aparat saat diinterogasi di depan kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). “Mereka (polisi) tonjok kening saya,” ucap Romario memperlihatkan benjolan di keningnya, Jumat (20/10).
Ulyanov juga mengaku dicekik dan ditarik bajunya hingga robek. “Ditarik baju saya sampai robek begini. Ya, mereka beri saya baju ganti memang, tapi saya juga dicekik ini,” ungkapnya seraya memperlihatkan tengkuknya, Jumat (20/10).
Selain serangan fisik, ketiganya mengaku mendapat serangan verbal selama menuju tempat interogasi. “Sepanjang jalan itu kami dicaci maki polisi. Saat kami mau dibebaskan, kami juga diancam. Katanya, wajah kami ditandai oleh mereka (polisi) dan kalau terlihat lagi akan dimatikan,” ungkap Ulyanov, Jumat (20/10).
Ketua Umum GMNI Jakarta Barat, Rio Novaldi mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti kasus ini ke meja hukum. “Terdapat sebuah penyalahgunaan wewenang oleh para aparat. Mereka memukul, mengancam secara verbal, bahkan mengancam nyawa manusia. Dengan ini, kami menyatakan mosi tidak percaya kepada Institusi Polri,” ucapnya, Jumat (20/10).
Sementara dua belas orang yang ditahan dari STT Terpadu Nurul Fikri dibebaskan setengah jam setelah tiga korban tersebut. Mereka dibawa ke Polisi Daerah (Polda) Metro Jaya setelah diamankan di Stasiun Gondangdia.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto membenarkan hal tersebut. “Di awal tadi memang ada yang diamankan. Mereka membawa pasta gigi untuk mengurangi efek gas air mata saat terjadi kerusuhan. Berarti mereka sudah menyiapkan hal yang tidak-tidak. Jadi, kami amankan,” jelas Karyoto, Jumat (20/10).
Menurut pantauan Institut, salah satu penyebab penangkapan tersebut ialah tindakan massa yang provokatif. Hal itu dikarenakan, beberapa massa aksi melemparkan botol dan merobohkan barikade yang telah dipasang aparat. Tindakan itu telah ditegur berulang kali oleh para Presiden Mahasiswa untuk bertindak sesuai arahan koordinator. Namun, beberapa mahasiswa tetap merusak barikade dan melempar botol ke arah aparat.
Reporter: Nabilah Saffanah
Editor: Febria Adha Larasati