Desak Perlindungan Hak Perempuan dan Hak Demokrasi

Read Time:2 Minute, 51 Second

Gerakan perlawanan oleh berbagai aliansi perempuan dilakukan untuk menuntut hak-hak mereka dalam mendapatkan keadilan. Pemerintah diharapkan dapat memberikan kebijakan untuk kesetaraan perempuan.


Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) diperingati untuk mempersatukan perempuan demi mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi berbasis gender. Dalam siaran pers tertanggal 8 Maret 2024, IWD menjadi momen penting bagi perempuan untuk menggerakkan perlawanan atas ketidakadilan.

Nihilnya keterlibatan perempuan dalam politik juga diangkat pada aksi ini. Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menyaratkan keterwakilan perempuan sebanyak 30% dalam Pemilu. Meski sudah diatur dalam UU, mayoritas partai politik tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini menunjukkan hak perempuan dalam politik belum terlaksana dengan baik.

Dalam orasinya, Efa Sundari selaku perwakilan Institut Sarinah menganggap, kondisi demokrasi dalam situasi darurat dan berisiko untuk perempuan dalam menuntut haknya. Menurutnya, perempuan berhak mendapatkan kesetaraan dan keadilan.“Kami (perempuan) bergerak melawan rezim otoriter dan oligarki,” tegas Efa, Jumat (8/3).

Aksi dimulai dari depan Gedung Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) sampai Monumen Nasional (Monas). Berbagai aliansi perempuan turut mengikuti aksi untuk menggugat pelanggaran demokrasi dan konstitusi. “Kondisi politik membuat perempuan harus lebih keras berjuang karena hak-haknya dirampas,” tegas Efa, Jumat (8/3).

Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai negara demokrasi, ungkap Efa, karena pemerintah senantiasa memprioritaskan kepentingan pribadi. Ia menegaskan, pemerintah perlu menghormati etik dan konstitusi.

Hal serupa disampaikan oleh Salsa sebagai perwakilan Konde.co, ia menuntut pemerintah agar tidak abai terhadap masyarakatnya. Kepentingan pribadi harus dikesampingkan agar keadilan bangsa tetap berjalan. Salsa merasa tidak adil karena pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) berat tidak diadili dan justru mendapatkan pangkat kehormatan. Salsa menuntut pemerintah untuk tidak tutup mata atas kejahatan HAM berat yang belum terselesaikan sampai saat ini.

Selain itu, lanjut Salsa, perempuan selalu diabaikan, disalahkan, dan kerap mengalami kekerasan. Tidak tersedianya ruang aman bagi perempuan membuat kesengsaraan selalu terjadi. “Kami menggerakkan seluruh perempuan untuk melawan sistem yang patriarkis,” ucapnya, Jumat (8/3).

IWD awalnya digerakkan oleh serikat pekerja perempuan. “Gerakan ini untuk menyuarakan sistem pemerintahan yang tidak adil, patriarki, dan kapitalisme yang harus dilawan,” jelas Afifah, anggota Perempuan Mahardika, Jumat (8/3). Afifah konsisten mengikuti aksi ini setiap tahunnya semenjak tahun 2017.

Selayaknya perempuan, Afifah ikut mengorganisir IWD dan berusaha untuk menuntut keadilan demokrasi serta kesetaraan gender. Afifah berharap masyarakat semakin teredukasi karena kebijakan pemerintah oligarki semakin mengancam. “Semoga pemerintah dapat menampung hak pekerja perempuan, hak reproduksi, dan hak maternitas,” jelas Afifah, Jumat (8/3).

Mahasiswa Program Studi (Prodi) Kajian Gender Universitas Indonesia, Stebby Julionatan yang turut meramaikan IWD mengatakan, sebagai laki-laki ia merasa turut berperan untuk menuntut kesetaraan dan hak-hak perempuan. Ia memandang, masyarakat kerap mengatur hak pribadi perempuan. Suara perempuan juga sering dibungkam dibanding laki-laki.

Stebby sangat mendukung aksi IWD. Gerakan ini, kata Stebby, tidak hanya menyuarakan hak-hak perempuan, tetapi menuntut keadilan pelanggaran demokrasi di Indonesia.

Menurut Stebby, pemerintah perlu mendorong peran perempuan dalam segala ranah pekerjaan. Perempuan berjuang merebut hak-haknya agar setara dengan laki-laki. Ia juga melihat, suara perempuan seringkali dibungkam. Hal itu disebabkan karena perempuan tidak diberikan kebebasan bersuara. “Sebagai laki-laki, kami turut berperan penting untuk mendukung gerakan perempuan,” ujar Stebby, Jumat (8/3). 

Stebby berharap, pemerintah dapat memberikan perempuan kebebasan dan kebijakan untuk keadilan perempuan. Perempuan juga perlu perlindungan atas hak-haknya. “Saat mengalami kekerasan seksual, perempuan tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Masyarakat kerap menyalahkan perempuan, padahal pelaku kekerasan sudah jelas salah,” katanya.

Reporter: RIN

Editor: Nabilah Saffanah

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Meniti Eksistensi Tokoh Perempuan di UIN Jakarta
Next post Jejak Juang Pakar Bahasa Asing