Standardisasi Pendidikan Bunuh Kreativitas Anak

Read Time:5 Minute, 38 Second

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana merombak kurikulum mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Di tingkat SD, kurikulum akan segera diubah menjadi hanya enam mata pelajaran, yaitu Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), Matematika, Seni Budaya serta Olahraga dan Kesehatan. Hal tersebut akan diuji publik mulai awal tahun 2013.
Kemendikbud berharap dengan penyederhanaan kurikulum itu bisa membuat peserta didik lebih fokus dan terarah. Dosen Psikologi Pendidikan UIN Jakarta, Solicha M.Psi mengatakan kurikulum pendidikan dasar saat ini memang memuat begitu banyak pelajaran. Peserta didik terkesan tahu banyak hal, tapi tidak mendalam dan serba dangkal. “Semakin banyak yang harus dipelajari, perhatian anak akan terpecah pada banyak hal dan menjadi kurang fokus,” ujarnya.
Di samping itu, beban mata pelajaran yang banyak tidak memberikan ruang yang memadai bagi peserta didik untuk memahami, dan mendalami suatu materi dari berbagai aspek. Jika melihat perkembangan pendidikan saat ini, beban anak yang bersekolah hampir sama dengan orang yang bekerja.
Anak bersekolah dari pagi hingga tengah hari atau sore, lalu pulang sekolah mengikuti bimbingan belajar, les bahasa asing atau ikut kegiatan ekstrakurikuler. Malamnya, anak mengerjakan pekerjaan rumah dan belajar untuk hari esok. “Hal mendasar yang seringkali dilupakan adalah pendidikan itu memanusiakan manusia dan belajar untuk hidup,” ujar Solicha.
Semua aspek perkembangan anak harus diperhatikan, baik fisik, kognisi sosial, emosi maupun religiuitas. Anak perlu diberi kesempatan untuk belajar, bermain, bersosialisasi dengan orang lain dan melakukan kegiatan yang bisa mengembangkan dirinya. Ini yang seringkali tidak disadari oleh para pendidik, baik guru di sekolah maupun orang tua.
Tugas mendidik tidak hanya dibebankan pada guru di sekolah, namun dibutuhkan dukungan dari orangtua dan masyarakat sekitar. Karena ketika hal tersebut tidak disinergikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika di sekolah peserta didik diajarkan untuk berempati pada sesama, sedangkan yang ia lihat dan rasakan di rumah justru berbeda.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) H. A. R Tilaar menilai hal pokok dalam pendidikan itu bukan kurikulum, melainkan guru. “Kalau gurunya tidak dipersiapkan, kurikulum baru itu nasibnya akan sama dengan kurikulum lainnya,” ungkapnya.
Menurutnya, terlepas muatan pelajarannya banyak atau tidak, konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu sudah bagus. Tetapi, mengapa hal ini tidak dipertahankan dan sekarang malah mau ganti lagi. “Ganti menteri ganti kurikulum,” imbuhnya.
Selama ini, kurikulum dibuat hanya di belakang meja, sehingga guru cenderung tidak tahu isi dari KTSP. Menurutnya, KTSP seharusnya disusun oleh guru karena ia yang mengetahui kondisi peserta didik.
Saat ini, banyak yang tidak mengerti apa arti kurikulum. Kurikulum berasal dari kata kurare yang artinya suatu pacuan, kemudian berkembang menjadi kata kurikulum. Dalam suatu pacuan, terdapat kuda, joki dan tujuan yang harus dicapai.
Joki yang bertugas mengarahkan kuda mencapai tujuan. Jika tujuan yang ingin dicapai tidak jelas, betapa berat joki mengarahkan kudanya mencapai tujuan. “Seperti itulah gambaran kurikulum. Kurikulum itu tidak harus dipatenkan, ia terbuka dan bisa direvisi,” ujarnya.
Menurut Solicha, selain aspek kurikulum, pemerintah perlu mempersiapkan guru yang mempunyai kompetensi dan ketrampilan dalam mengelola kelas serta merancang dan memfasilitasi proses pembelajaran yang bermutu. Guru harus bisa improvisasi dan mengembangkan kemampuan bepikir tingkat tinggi, tidak terpaku pada hafalan saja. Jika tidak peserta didik yang akan menjadi korban.
Di sisi lain, menurut Tilaar pendidikan saat ini adalah mengadili peserta didik dengan pemakaian standarisasi. Ia memberikan contoh, Korea Selatan (Korsel) salah satu negara maju di Asia yang mengadakan ujian nasional sangat ketat. Banyak peserta didik mengikuti bimbingan belajar agar dapat lulus memenuhi standar.
Dampaknya, banyak peserta didik di Korsel menjadi stres dan bunuh diri. Sejak tahun lalu, Pemerintah Korsel melarang adanya bimbingan belajar. “Dalam suatu negara penetapan standar sudah dibakukan. Pada akhirnya setelah standar itu tercapai akan mematikan kreativitas peserta didik. Matinya kreativitas berarti matinya suatu kebudayaan,” terangnya.
Budaya itu selalu berkembang lambat atau cepat, tapi ketika kreativitas mati, budaya pun akan mati. Guru pun sulit untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, karena terikat dengan kurikulum. “Apakah pendidikan nasional kita menginginkan ke arah sana? Anak-anak telah dimatikan kreativitasnya,” katanya.
Selama ini, guru hanya sebagai pemberi ilmu pengetahuan (knowledge provider) dan peserta didik sebagai penerima ilmu pengetahuan (knowledge receiver). Tilaar mengatakan, seharusnya guru dan peserta didik bersama-sama menjadi pembangun ilmu pengetahuan (knowledge builder).
Solicha mengatakan, banyak pengetahuan saja tidak cukup, anak perlu diajarkan bagaimana menggunakan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka perlu dibangun curiousity (rasa ingin tahu), kreativitas, kemampuan problem solving, kepekaan sosial, moralitas, dan lain-lain sejak dini.
Guru perlu kreatif untuk memberikan pengajaran yang efektif dengan melibatkan siswa untuk menemukan aplikasi dari pengetahuan. “Guru perlu berjuang lebih keras agar tidak terjebak dengan godaan persiapan ujian,” jelasnya.
Pendidikan nasional belum mempunyai arah
Dari hasil penelitian, suatu negara akan maju jika sekurang-kurangnya terdapat 2% penduduknya adalah entrepreneur. Entrepreneur bukan hanya di bidang ekonomi, tapi di segala bidang yang bisa mengubah dan menciptakan sesuatu. Bagaimana untuk membangun 2% entrepreneur di Indonesia, jika pendidikan nasional hanya menghasilkan manusia penghafal saja.
Pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan nasional. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, masyarakat menggunakan produk asing mulai dari sabun, susu, beras, kendaraan, elektronik dan lain-lain. “Produk asli Indonesia hanya korupsi, itulah hasil pendidikan nasional, menghasilkan manusia yang tidak kreatif,” jelas Tilaar.
Semuanya hanya ingin menjadi pegawai negeri saja, tapi tidak berfikir kreatif bagaimana mengelola sumber daya alam dan budaya Indonesia yang luar biasa. Jika ditanya kemana arah pendidikan nasional? Jawabannya belum mempunyai arah.
Dalam teori pendidikan menurut Ralph W.Tyler, tahap-tahap pendidikan, yaitu tujuan, pengalaman pendidikan, organisasi pengalaman dan evaluasi. Pendidikan harus mempunyai tujuan yang jelas, ditujukan untuk siapa.
Menurut Tilaar, pemerintah perlu merumuskan kembali tujuan pendidikan nasional seperti yang diinginkan undang-undang, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa bukan hanya mencerdaskan otak kanan atau kiri saja. Selama ini, pendidikan nasional hanya melihat ke atas, bukan ke bawah di mana mayoritas masyarakat masih miskin.
Pendidikan nasional haruslah ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, bukan satu kelompok saja. Pendidikan harus membuat bangsa ini merdeka secara ekonomi, politik dan budaya. Indonesia bukanlah bangsa pengekor dan antek-antek asing. Dalam teori pendidikan Paulo Freire, tujuan pendidikan adalah pembebasan dari kesenjangan dengan kesadaran kritis.
Sementara itu, Solicha mengatakan pemerintah perlu memperhatikan aspek konkret, integratif dan hirarkis dalam menyusun kurikulum anak usia sekolah dasar. Dalam teori cognitive development dari Jean Piaget, anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Proses belajar anak harus beranjak dari hal-hal yang konkret yakni, dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba dan diotak-atik dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.
Aspek integratif, artinya pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, anak belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian. Sedangkan hirarkis mengandung makna pada tahapan usia SD, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. (Anastasia Tovita)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Hadiah untuk Reza
Next post Kebenaran Tuhan dalam Dunia Fisika