Suasana ricuh pasca penghitungan suara Pemira FISIP, Kamis (28/3) Malam |
Kericuhan terjadi di Fakultas Ilmu Sosial dan Imu Politik (FISIP) Jumat (29/3) malam dalam perhelatan Pemilu Raya (Pemira). Peristiwa ini terjadi akibat keberlanjutan sengketa penghitungan suara untuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) HI yang tak selesai pada Kamis (28/3) malam.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Muhammad Ainul Ibad. Menurutnya, kericuhan disebabkan kemarahan salah satu pihak karena keputusan Wakil Dekan (Wadek) Kemahasiswaan FISIP, Ahmad Abrori yang dianggap sepihak.
“Karena sengketa hasil di HI belum selesai, mereka tidak mau melanjutkan penghitungan suara untuk fakultas. Tetapi, berdasarkan keputusan Wadek III penghitungan untuk HMJ HI dikatakan sah karena merujuk pada kesepakatan awal saat mediasi,” ucapnya. Sabtu (30/3).
Ibad menceritakan, sebenarnya saksi dari kedua belah pihak telah melakukan mediasi dengan Wadek III. Namun, setelah penghitungan suara, pihak yang kalah dalam pemilihan tersebut menolak keputusan dari mediasi sebelumnya. Pihak tersebut menganggap keputusan dari mediasi tersebut lemah kekuatan hukumnya karena tidak adanya perjanjian tertulis.
Kendati demikian, Abrori menganggap keputusan tersebut sah karena saksi dari kedua belah pihak telah menyepakati dan keputusannya diumumkan di TPS dengan disaksikan mahasiswa secara langsung. “Memang waktu itu kan sifatnya urgent, jadi tak ada hitam di atas putih,” imbuhnya.
Kejadian tersebut berawal dari ketidakcocokan jumlah surat suara hasil penghitungan suara yang sah oleh KPU dengan jumlah penghitungan suara akhir. Surat suara yang harusnya berjumlah 320, ternyata berubah menjadi 322 surat suara setelah penghitungan selesai. Kemudian saat KPU menghitung ulang, jumlah suara bertambah lagi menjadi 325.
Ibad menambahkan, selain adanya indikasi penggelembungan suara, hilangnya 10 surat suara jurusan HI menjadi faktor lainnya. Sehingga pelaksanaan penghitungan suara HMJ HI malam itu tak berjalan mulus.
Terkait isu penggelembungan suara, Dzulfikar Ali Bhutto, mahasiswa Ilmu Politik mengatakan, indikasi penggelembungan suara terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara jumlah pengguna hak suara dengan jumlah suara, dan itu yang terjadi di FISIP.
“Melihat dari KPU juga kan banyak surat suara yang lebih, seharusnya surat suara yang lebih itu harus segera dibuang dan dijauhkan dari tempat pemungutan suara,” tukas Ijung, Jumat (5/4).
Ali Buhto yang biasa disapa Ijung menambahkan, Tempat Pemungutan Suara (TPS) di FISIP pun terlalu terbuka. Sehingga memungkinkan orang-orang yang di luar KPU dapat dengan mudah keluar masuk TPS.
Sementara itu, berbeda dengan pendapat Ijung, Muhammad Rafsanjani sesama mahasiswa Ilmu Politik mengungkapkan, indikasi penggelembungan suara itu masih belum bisa dipastikan karena duduk perkaranya masih belum jelas. “Bisa saja ada kekeliruan saat penghitungan,” katanya, Minggu (31/3).
Bagi Rafsan, kasus hilangnya 10 surat suara dan merebaknya indikasi penggelembungan suara tak akan terjadi apabila KPU bersikap tegas. “Ya tidak wajarlah ketika terjadi ketidaksesuaian antara Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menggunakan hak pilihnya dengan jumlah suara yang ada di kotak suara,” tukasnya.
Ia menambahkan, KPU harusnya lebih teliti dengan permasalahan teknis yang sifatnya sederhana, karena dapat berakibat fatal. “Ya seperti penghitungan suara di HMJ HI yang bermasalah,” contohnya.
Senada dengan Rafsan, Ijung yang mantan Ketua KPU FISIP menuturkan, agar tidak terjadi kesalahan. Sebaiknya FISIP juga membentuk tim panitia pengawas pemilu (PANWASLU) untuk mengontrol jalannya pemira.
“Kebijakan dan struktur KPU FISIP juga kurang jelas, saat ada pihak yang mau menggugat, mahasiswa tidak tahu harus gugat ke mana? Soalnya nggak ada panwaslu,” kata Ijung.
Adanya ketidaktegasan yang dilakukan KPU tersebut diamini Ibad. “KPU di sini sudah kecolongan. Banyak kekeliruan dan hal yang di luar kemampuan kita. Walau begitu KPU sudah berusaha seketat mungkin untuk menjalankan tugas dan melakukan proses pemungutan suara secara adil serta bertanggung jawab sehingga tidak ada yang ditutup-tutupi oleh KPU,” tuturnya. Sabtu (30/3).
Selain tidak tegas, Ijung menyayangkan ketidakjelasan KPU dan pihak fakultas dalam melakukan komunikasi dengan pendukung masing-masing kandidat hingga akhirnya mereka hanya menunggu ketidakpastian.
“Waktu itu penghitungan suara FISIP yang akan dilaksanakan Jumat yang ternyata tidak dilakukan, malah ada kabar dari KPU pengitungan dimulai jam tujuh malam. Tapi, setelah diverifikasi ke Wadek III ternyata tidak ada, dan hingga malam akhirnya kedua kubu menunggu kabar dari KPU,” tandasnya. ( Nurlaela)
Average Rating