Read Time:2 Minute, 27 Second
Unjuk rasa yang mahasiswa lakukan kerap menuai respons miring. Tidak heran, partisipasi mahasiswa dengan tujuan menyuarakan aspirasi masyarakat itu semakin berkurang.
Terik matahari siang itu tak menyurutkan niat sekelompok mahasiswa untuk berorasi di halte Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka yang berjumlah tak lebih dari 10 orang itu menuntut pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia di tanah Rembang.
“Jakarta cinta Rembang. Selamatkan alam, Pulau Jawa dan Rembang, untuk anak dan cucu kita,” demikian tulisan yang tertera di spanduk aksi mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Jakarta Menolak Semen, Kamis (16/4). Untuk menarik perhatian orang sekitar, sebagian di antara mereka juga berpakaian ala petani. Sementara sisanya memainkan alat musik rebana yang sudah mereka siapkan sejak malam sebelumnya.
Ragam cara dilakukan mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi. Salah satunya lewat berunjuk rasa. Seperti yang dilakukan Selamet Widodo dan teman-temannya dalam membela warga Rembang yang sedang bersengketa tanah dengan PT Semen Indonesia.
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin (FU), Ahmad Bahroin, juga memilih berunjuk rasa sebagai upaya mengkritik kebijakan pemerintah yang kerap tidak pro rakyat. Biasanya, Boim—sapaan akrabnya— menggunakan pamflet, poster, dan leaflet sebagai sarana saat berunjuk rasa. “Tidak jarang pula kita melakukan aksi teaterikal,” ucap Boim, Rabu (15/4).
Menurut Boim, berunjuk rasa adalah cara efektif dalam menyampaikan aspirasi ketimbang kampanye lewat media sosial. Dengan berunjuk rasa, aspirasi yang disuarakan bisa lebih mudah tersampaikan. Sayangnya, kata Boim, banyak mahasiswa yang kini memandang negatif aksi unjuk rasa.
Dhorifah, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) menilai, selain berunjuk rasa, diskusi publik atau memanfaatkan media sosial bisa jadi cara lain mahasiswa menyampaikan aspirasi. “Jika itu dikembangkan mungkin efeknya lebih bagus,” tukas Ifa, Kamis (16/4).
Senada dengan Ifa. Muhammad Akbar Thariq, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) menyesalkan tindak anarkis yang kerap terjadi saat unjuk rasa. Menurutnya, itulah sebab banyak mahasiswa enggan berunjuk rasa. “Untuk apa melakukan aksi jika banyak dampak buruk terjadi,” kata Thariq, Jumat (17/4).
Seperti yang dilakukan Boim misalnya. Saat berunjuk rasa, ia dan massa aksi memang tidak jarang memblokir jalan. Katanya, itu dilakukan massa aksi sebagai bentuk tekanan untuk pemerintah. “Sayangnya, media lebih menyoroti dampak aksi dibanding tuntutan aksi,” ucap Boim.
Boim juga mengeluhkan menurunnya animo mahasiswa dalam berunjuk rasa. Hal itu ia rasakan dari sedikitnya massa saat ia berunjuk rasa. “Paling, hanya sekitar 20 orang,” ujar Boim. Bahkan tak jarang, aksi yang dilakukan Boim juga menuai kritik mahasiswa lain. Padahal, lanjut Boim, sebelum sistem organisasi kampus berganti pada 2010 silam, antusiasme mahasiswa berunjuk rasa cukup tinggi.
Hal tersebut diamini oleh Renal Rinoza. Aktivis Lingkar Studi Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI) ini menuturkan, pasca pergantian sistem organisasi kampus, mahasiswa mulai kehilangan antusias dalam melakukan unjuk rasa. Padahal, sebelumnya mahasiswa sangat berpengaruh dalam menggerakkan aksi.
Renal juga menyayangkan gaya hidup mahasiswa saat ini yang cenderung hedonis. Menurutnya, gejolak mahasiswa dalam menanggapi isu mulai berkurang. “Kini, mahasiswa cuek terhadap situasi yang ada,” ungkap Renal, Senin (13/4).
Rizky Rakhmansyah
Average Rating