Ilustrasi. (Sumber: merdeka.com) |
Read Time:3 Minute, 33 Second
Oleh: Aditia Purnomo
Dulu sekali, ada seorang anak muda yang punya daya kritis tinggi. Pada masa sekolah, anak ini sempat dipaksa tinggal kelas lantaran mengkritik seorang guru mata pelajaran sastra. Merasa tak senang dengan kritik muridnya, sang guru memberi pilihan pada anak itu, meminta maaf padanya atau tidak naik kelas.
Anak muda ini kemudian memilih untuk pindah sekolah. Ia merasa memiliki pemahaman yang cukup dalam mata pelajaran sang guru untuk sekadar naik kelas. Kejadian ini kemudian ia tulis pada buku harian pribadinya, yang kelak diterbitkan sebagai sebuah buku yang cukup fenomenal. Salah satu kutipan yang paling dikenal dari buku itu adalah, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau”. Nama anak itu adalah Soe Hok Gie.
Di bangku kuliah, kelakuan ‘nakal’ Gie tidak berubah. Ia masih saja kritis, bahkan semakin menggila. Gie terus melakukan protes-protes terhadap sesuatu yang ia anggap tidak benar. Karena menurutnya, “mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan”. Dia bukan anak kesayangan orde baru yang dengan mudah bilang “asal bapak senang” layaknya mengiyakan apa mau dosen hanya demi nilai.
Pernah saat ia menjabat sebagai pimpinan eksekutif mahasiswa di fakultasnya, Gie pernah membuat geger pihak dekanat dengan memajang daftar nama dosen yang bermasalah. Nama-nama ini Ia peroleh lewat survei yang ia lakukan terhadap mahasiswa dengan bahasan, kinerja dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI).
Bagi Gie, “Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh dosen-dosen korup mereka.”
Bahkan, saat menjadi dosen di fakultas tersebut, Gie secara blak-blakan mengungkap dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Oleh dosen itu, hasil terjemahan mahasiswanya digunakan sebagai bahan pengajaran. Karena sang dosen rupanya tak cakap berbahasa Inggris. Sungguh mati mahasiswa yang tak berani melawan.
***
Kini, banyak yang bilang zaman sudah berbeda. Ini bukan tahun 60-an, zaman Gie hidup. Internet sudah mengubah kondisi dunia begitu rupa. Menjadi aktivis pun sudah tak lagi digandrungi karena orang-orang lebih suka JKT48. Biaya kuliah semakin mahal. Namun dari semua perubahan itu, masih banyak juga yang tidak berubah. Para pengajar yang korup salah satunya.
Di masa-masa awal semester, biasanya perkuliahan dimulai dengan kontrak belajar. Di situ, dibahas indikator-indikator yang menentukan kelulusan. Di situ juga dibahas berapa kali mahasiswa diperbolehkan tidak hadir perkuliahan, jika lebih tentu tidak diizinkan untuk melanjutkan perkuliahan. Semuanya dibahas. “Lebih dari tiga kali tidak hadir, anda tidak boleh ikut UAS.”
Namun dari semua kontrak itu, jarang sekali dibahas hal-hal yang harus dosen lakukan. Tidak pernah ada dalam kontrak misalnya, jika dosen tidak hadir lebih dari tiga kali, maka dosen tidak boleh mengadakan UAS. Atau, jika dosen terlambat lebih 15 menit, maka dosen tidak boleh memberi perkuliahan. Hal-hal seperti itu, biasanya jarang terjadi.
Bukan cuma dosen yang jarang masuk dan sering telat, ada juga dosen yang sepanjang mata kuliah cuma membebankan tugas, menyuruh mahasiswnya hanya berdiskusi, kemudian memberi mereka nilai. Belum lagi dosen-dosen yang mengganti jadwal kuliah dengan alasan sibuk. Memangnya cuma dosen saja yang punya aktivitas lain.
Memang, tidak semua dosen berlaku seperti itu. Ada juga dosen yang taat mengajar. Tapi jangan lupakan keberadaan dosen-dosen korup macam tadi. Ingat, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Jadi, jangan salahkan mahasiswa menggosip di belakang jika masih ada dosen yang korup.
Permasalahannya, pihak kampus masih saja alpa dengan hal-hal seperti ini. Ketimbang memperbaiki kualitas dosen, kampus lebih suka menggenjot International Organization for Standardization (ISO) kampus agar masuk jajaran kampus kelas dunia.
Ya, zaman memang sudah berubah. Sudah sangat jarang —atau bahkan tak ada— mahasiswa macam Gie yang berani menentang dosen. Kebanyakan mahasiswa lebih suka manut agar bisa lulus ketimbang mengomentari pendapat dosen dan tidak lagi diperbolehkan masuk kelas. Ingat, sekarang kuliah cuma dibatasi 5 tahun, Soe Hok Gie enak boleh lulus 7 tahun.
Jadi, bagi mahasiswa yang lebih suka manut sama dosen, ada baiknya tidak banyak bisik-bisik di belakang dosen. Selain karena ngegosipin orang itu tidak diperbolehkan Nabi Muhammad, bergunjing juga tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada dapat dosa. Ingatlah, hanya orang yang berani menyatakan perasaan yang bisa jadian. Dan hanya mereka yang berani menuntut haknyalah, yang pantas diberikan keadilan.
*Penulis adalah mahasiswa akhir yang tak kunjung lulus
Average Rating