Indang Lestarikan Adat Minangkabau

Read Time:3 Minute, 59 Second

Empat belas anak lak-laki memasuki gelanggang malam itu, Minggu (26/7). Pemuda-pemuda tersebut langsung membuat barisan rapi dan duduk bersila di hadapan penonton. Penari indang mengenakan pakaian adat Minangkabau berupa baju gadang bewarna kuning cerah dihiasi benang emas dan sarawa gombang, celana yang melebar di bagian kaki. Para pemuda itu merupakan penari indang yang diundang untuk mengisi alek gadang (pesta besar).

Kemudian datanglah lelaki paruh baya mengenakan baju bewarna hitam dilengkapi dengan Deta, yaitu penutup kepala khas Minangkabau. Ia mengambil posisi di tengah empat belas pemuda tadi. Lelaki yang disebut Tukang Aliah ini akan berbalas syair dengan tuan rumah pelaksana alek gadang.

Sementara itu tuan rumah diwakili oleh Katik. Katik adalah seorang tokoh pemuka adat di daerah Minang. Dalam pertunjukkan indang, Katik melantunkan syair secara spontan tanpa ada pembuatan naskah terlebih dahulu. Sehabis Tukang Aliah memberikan aba-aba, empat belas pemuda penari indang masing-masing mengambil sebuah rebana kecil terbuat dari kulit kambing yang disebut rapa’i.

Terdengar musik Melayu Minang begitu rapa’i dipukul dengan cepat secara serempak. Penari indang pun melakukan tarian dengan memegang dan memukul rapa’i serta meletakkannya ke bawah sambil mengayunkan ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba terdengar kembali aba-aba yang membuat penari indang menghentikan tarian.

Seketika suasana menjadi hening, Katik pun bersyair  “Ikolah kini iyo baiak diulang baliak katonyo indang dimulai dek Tandikek. Waden sapandapek nan tigo jerong. Parik pamutuih urang darek kiniko, Katik paliek indaglah puncek elok lah pulo oi diulang baliak (sekarang ini, baiknya diulang lagi katanya indang yang dimulai oleh orang tandikek, saya sependapat dari tiga jerong. Parit pemutus dari orang darat, Katik melihat indang sudah berapa, baiknya diulang lagi).

Setelah Katik selesai mengucapkan syair terakhir, penari indang melanjutkan tarian dengan gerakan yang sama seperti sebelumnya. Saat tarian berhenti, syair kemudian dibalas Tukang Aliah dari penari indang yang didatangkan oleh tuan rumah. Bialah baserak bana lah tabang padi, bia sabodong oi pulang pagi, paik putuih e imbo rang darek lai sabodong pulang baliak. Antaro kito duduak nan sasandiang, bia baserak nan buruang tabang pagi, untuang sabodong pulang patang (biar berserakan padi, biar sama-sama kita oi pulang pagi, pahit putusan rimba orang darat, sama-sama pulang lagi, sama-sama kembali ketika petang).

Setelah itu, empat belas pemuda  penari indang  melakukan gerakan menunduk  dengan telapak tangan kiri menyentuh tanah. Rapa’i yang berada di tangan kanan diangkat ke atas. Kemudian Penari indang menirukan kembali bait terakhir pada syair secara bersama-sama. Setelah menyelesaikan bait tersebut, penari indang menepuk rapa’i satu kali serta meletakkannya ke bawah lalu mengayunkan ke kiri dan ke kanan dan memukul rapa’i dengan cepat.

Katik membalas syair dari Tukang Aliah. Antaro kito duduak sasandiang bak a pandapek rang Koto Aua, dek Tandikek. Patuiklah patuik beko pandang sasewai sabok basobok senter bapatiak (antara kita duduk sejajar, bagaimana pendapat dari orang Koto Aua dan Tandikek. Patutlah patut nanti pandangannya sesuai, sebab bertemu karena lampu dihidupkan).

Setelah Katik mengakhiri syairnya, penari indang kali ini menjentikan jari secara bergantian. Dalam posisi duduk, Katik menggoyangkan tubuh dua kali ke kiri dan kanan. Rapa’idiletakkan di depan masing-masing penari kembali mengikuti bait syair terakhir yang diucapkan oleh Katik tadi.

Syair kembali dibalas oleh indang undangan. Caliaklah bacaliak intan dalam kasiak untuang dapek juo ameh babatang, ko laweh na lepoh sitapak itiak untuang lai jajak ayam tagak ndag ilang. Kok ado nan jalan bara nantik, jan lupo pulo jalan nan usang.alah tu dulu, sahinggo itu, dialiah dulu parundiangan, manga lamo na dipasawangan. (Lihatlah dilihat intan di dalam pasir, untung dapat juga emas berbatang. Kalau pun luas jejak dari itik, untung jejak ayam tidaklah hilang. Kalaupun ada jalan yang baru, jangan lupa pula jalan yang lama. Itu dulu sampai di situ, dialihkan dulu perundingan, buat apa lama di tempat yang lengang).

Selanjutnya keempat belas penariindang bersama Tukang Aliah pun mengucapkan syair bersamaan. Salamaik datang kami ucapkan  alah tu dulu, sahinggo itu, dialiah dulu parundiangan, manga lamo na dipasawangan (selamat datang kami ucapkan, itu dulu sampai di situ, dialihkan dulu perundingan, buat apa lama di tempat yang lengang).

Akhirnya indang ditutup dengan gerakan menunduk dengan telapak tangan menyentuh lantai, sembari memukul rapa’i. Kemudian keempat belas beserta Tukang Aliah berdiri sambil membentuk dua kelompok dan keluar secara bersamaan.

Ketua pelaksana alek gadang, Ali Basar mengatakan, pertunjukkan yang dipentaskan di Desa Durian Hijau, Kecamatan V Kota, Padang Alai, Sumatera Barat ini bertujuan untuk memeriahkah hari raya idul fitri dan menyambut anak nagari (putra daerah) yang baru pulang dari perantauan. “Kegiatan ini juga bertujuan untuk menggalang dana guna membangun daerah, dari anak nagari (putera daerah) yang baru pulang dari perantauan,” ungkapnya.


Salah seorang penonton, Hendrizal mengungkapkan, pertunjukkan ini merupakan salah satu bentuk pelestarian seni budaya Minangkabau. “Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini, karena secara langsung telah menggalakkan kesenian daerah yang sudah hampir terlupakan”, ujarnya.

AN

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Menilik Sekilas Perkembangan Kereta Api Indonesia
Next post Angklung Memikat Mata Dunia