(Ilustrasi : Syah Rizal) |
Read Time:3 Minute, 8 Second
Pemira UIN Jakarta tahun ini marak diwarnai aklamasi. KPU pun tak punya aturan yang jelas.
Fenomena aklamasi menghiasi Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2015. Hampir 52% atau setengah dari pasangan ketua dan wakil ketua dari Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (Dema F), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Senat Mahasiswa Universitas (Sema U), dan Senat Mahasiswa Fakultas (Sema F) terpilih berdasarkan hasil aklamasi.
Alasannya pun beragam, mulai dari tak ada calon hingga adanya pemalsuan data dalam pemberkasan calon peserta pemira di KPU.
Padahal menurut pengamat politik, Ray Rangkuti, aklamasi merupakan sesuatu yang tidak sehat dalam Pemilu. Menurutnya, aklamasi seakan-akan menghilangkan persaingan dalam pemilu. “Aklamasi itu menunjukan seolah-olah masyarakat memiliki satu pikiran yang sama,” katanya ketika ditemui di rumahnya, Sabtu (26/12).
Maraknya aklamasi pada pemira tahun ini terlihat dari data yang tercatat Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari total 122 pasangan ketua dan wakil ketua Dema F, HMJ, Sema U dan Sema F, 64 di antaranya terpilihberdasarkan hasil aklamasi. 4 untuk Dema F, 9 untuk Sema U, 31 untuk Sema F, dan 20 untuk HMJ dan HMPS.
Salah satunya, terjadi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM). Dari lima jurusan yang ada, empat jurusan melakukan aklamasi untuk menentukan ketua dan wakil ketua HMJ. Empat jurusan tersebut, yaitu Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Jurnalistik, dan Kesejahteraan Sosial (Kesos).
Menurut calon ketua HMJ Kesos, Muhammad Naufal, aklamasi sudah biasa dilakukan di jurusannya. Sejak 2004 silam, Kesos selalu aklamasi. “Sebelumnya ada beberapa calon, kemudian dimusyawarahkan dan akhinya disepakati satu pasang calon terpilih,” tuturnya, Jumat (11/12).
Menanggapi hal itu, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Afrizal Rosihul Hilmi mengaku tak mengetahui alasan banyaknya aklamsi yang terjadi di fakultasnya.“Kami hanya sekadar membuka dan menyelenggarakan pemira, sampai akhirnya melakukan pelantikan calon terpilih,” tuturnya, Senin (21/12).
Selain di FIDIKOM, aklamasi juga terjadi di dua Program Studi (Prodi) di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Di antaranya adalah Prodi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) yang terpaksa aklamasi karena salah satu calon ketua HMPS memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) kurang dari 3,00 sehingga tak lolos pemberkasan. Sedangkan, di Prodi Ilmu Keperawatan hanya ada satu calon yang mengajukan diri sebagai ketua HMPS.
Ketua KPPS FKIK, Ofin Andina membenarkan adanya pasangan yang tidak lolos pemberkasan di FKIK. Menurutnya, aklamasi di FKIK terjadi karena keterpaksaan. “Jadi aklamasi di FKIK bukan hasil musyawarah, tapi karena kurangnya persyaratan dari calon lain,” tegasnya, Sabtu (26/12).
Tak hanya itu, bahkan seluruh jurusan di Fakultas Sains dan Teknologi (FST) pun aklamasi untuk menentukan calon ketua dana wakil ketua HMJ. Sedangkan aklamasi untuk Dema F terjadi di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), FIDIKOM, Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).
Terkait hal itu, ketua KPU, Putra Dian Kharisma Ivada menyatakan, tidak ada aturan jelas yang membahas tentang aklamasi dalam peraturan KPU. Ia mengemukakan, masalah peraturan tentang Pemira, KPU berpedoman pada peraturan dari Sema U dan Sema F. “Untuk peraturan yang membahas secara detil, KPU tidak lepas dari peraturan Sema U,” katanya, Sabtu (26/12).
Selain itu, Putra juga mengungkapkan, aklamasi merupakan kasus yang sulit dihilangkan. Menurutnya, setiap fakultas memiliki kebiasaan yang berbeda dalam melakukan pemilihan. Ia pun tak mempermasalahkan adanya musyawarah atau hal lainnya yang menyebabkan aklamasi. “Selama aklamasi ini tidak menyalahi aturan maka tidak menjadi masalah,” papar Putra.
Sedangkan menurut Ray, KPU seharusnya membuat peraturanyang tidak memperbolehkan adanya calon tunggal. Calon tunggal hanya menghapus sifat kompetitif dalam demokrasi. “Kalau pun calonnya tunggal, KPU sebaiknya membuat aturan supaya ada calon lain yang menjadi saingannya” ujar pendiri Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi (LSADI) Ciputat itu.
Selain kompetitif, lanjut Ray, dalam demokrasi juga harus ada keberagaman karena demokrasi seharusnya menjamin pluralisme tumbuh. “Aklamasi biasanya tumbuh di pemerintahan otoriter, manipulatif, dan penuh intimidasi,” tutupnya.
KB &YZ
Average Rating