Read Time:4 Minute, 31 Second
Oleh: Jonathan Alfrendy*
Salah satu fenomena terhangat yang menyedot perhatian warga kampus sepanjang April ini adalah pengelolaan parkir yang tak kunjung rapi dan pendaftaran wisuda secara online yang bukan membantu justru merumitkan. Dimensi kedua peristiwa kali ini ini mengandung bobot konfliktual bersifat laten, menyusul terjadinya perubahan tata kelola birokrasi yang terkesan menimbulkan masalah baru.
Pengelolaan parkir dengan menggunakan sistem mutakhir pada awalnya menjanjikan harapan baru dengan membangun gedung parkir khusus yang dibarengi dengan model karcis lekas menjelma menjadi slogan kosong. Gedung parkir baru yang digadang mampu menjadi fasilitas untuk merapikan ribuan kendaraan justru kenyataannya semakin mengundang kepadatan pengendara. Hampir di segala lini kampus satu kini dipadati deretan mobil dan motor, bahkan lahan terbuka hijau yang dulu ada di sudut kampus, telah beralih fungsi menjadi lahan parkir.
Dampak positifnya, warga kampus merasakan sauna gratis di kala siang datang. Terik matahari begitu terasa panas ke ubun hingga sumsum tatkala rimbunan pohon tak dibiarkan tumbuh lagi, tergantikan oleh atap seng dan beton yang menjulang. Sistem karcis yang disangka akan melancarkan sirkulasi perparkiran, dalam perjalanannya justru semakin memperpanjang barisan antrian pengendara bermotor saat memasuki pintu keluar, melebihi antrian saat tarif lama masih digunakan.
Kampus kita sepertinya tak pernah tuntas mengkaji perkara kecil seperti kelola parkir yang selalu menjadi sengkarut tak berujung. Padahal pepatah sakti dari orang suci selalu mengingatkan: setialah pada perkara-perkara kecil, setelah itu akan diberikan tanggung jawab pada perkara besar. Untuk meraih misi sebagai World Class University, sebaiknya UIN Jakarta harus memulainya dengan hal kecil, fokus menata hal remeh macam perparkiran. Sulit meraih predikat luhur tersebut tanpa membereskan sistem perparkiran. Sudah semestinya birokrat kampus kita menyadari bahwa mereka menanggung beban citra yang besar untuk segera dilunasi agar UIN Jakarta tak mendapat label kampus kumuh oleh para tamu dan publik ketika berkunjung.
Kita hanya bisa berharap dan menanti dengan cemas birokrat kampus kita bersama Gerbang Berkah (GB) Parking memiliki terbosan baru yang inovatif dalam menyelesaikan persoalan kusut parkir. Terobosan yang tidak hanya memikirkan profit dengan membabat habis lahan hijau bagi berteduhnya burung, tempat kongkow dan aktivitas mahasiswa, namun yang kita butuhkan tata kelola yang tertata, tersistem sekaligus ramah lingkungan.
Dimensi lain yang menambah rasa cemas bagi kalangan calon wisudawan sepanjang bulan ini adalah pendaftaran peserta wisuda ke-100 secara online. Kendati pada prinsipnya, model baru tersebut perlu diapresiasi karena sebagai simbol perubahan dan bagian dari proses mempermudah birokrasi dan mahasiswa, dalam perjalanannya kerap mampat di berbagai tikungan. Meski berbasis online, namun jujur saja, dalam pelaksanaannya jauh lebih rumit dan membingungkan.
Penerapan pendaftaran wisuda model baru ini memang terobosan baru yang dilakukan rektorat dalam melihat realitas perubahan zaman, meski kebijakan yang agak sedikit telat. Dari segi momentum, pelaksanaan wisuda ke-100 Mei mendatang adalah momen spesial karena bersamaan dengan hari ulang tahun UIN Jakarta, dan itu sebabnya pendaftaran wisuda berbasis online merupakan simbol perubahan kreatif (creative disruption) bagi birokrasi kampus. Artinya, setiap tren lama yang dihancurkan akan tergantikan oleh cara baru yang lebih baik.
Untuk mendaftar wisuda, misalnya, dulu calon wisudawan harus melengkapi ragam berkas persyaratan dan membawanya ke petugas di fakultas untuk dikoreksi, jika berkas lengkap tentu tak ada masalah, lanjut terus. Akan menjadi nelangsa jika harus mondar-mandir berhari-hari ke fakultas untuk melengkapi berkas yang kurang.
Kini, calon wisudawan/ti tak perlu lagi repot menggunakan cara lama seperti di atas. Sejak awal April, sudah diberlakukan pendaftaran wisuda secara online, pokoknya dijamin tak rumit, begitulah kesan awal ketika muncul gebrakan baru ini.
Alih-alih merevolusi model pelayanan, gebrakan baru tersebut ternyata tidak diikuti oleh percepatan sistem administrasi akademik, Academic Information System (AIS), dan mentalitas sekaligus kesiagapan birokrasi yang melayani pendaftaran wisuda. Dalam banyak kasus ditemukan, calon wisudawan mengikuti alur pendaftaran secara runtut lewat petunjuk yang ada, namun seringkali berlawanan dengan petunjuk yang diberikan oleh para birokrat.
Yang sering terjadi begini. Ketika hendak mengurus bebas pustaka, sesuai petunjuk baku si mahasiswa harus ke perpustakaan utama, fakultas, prodi dahulu, baru bayar wisuda kemudian. Tapi itu fiksi. Kenyataannya, terbalik. Petugas perpustakaan justru menyalahkan si mahasiswa karena belum melunasi biaya wisuda terlebih dahulu, mirip seperti pimpong, harus kesana-kesini dulu meski berbeda dengan petunjuk baku. Jelas banyak mahasiswa yang jengkel dan kebingungan, karena pada praktiknya pendaftaran wisuda online justru semakin rumit dan melelahkan.
Harus diakui pula perilaku birokrat di kampus kita sangat menggelisahkan. Maaf, pegawai akademik di fakultas tempat saya kuliah bisa jadi contoh. Mulai efektif kerja kantor biasanya jam delapan lewat, bahkan bisa satu jam kemudian mereka baru hadir. Mereka mungkin sengaja menempatkan siswa magang untuk hadir tepat waktu untuk membuka loket. Bila tiba jam istirahat, para birokrat tersebut dengan cepat bergegas untuk beristrahat dengan tepat waktu tak peduli bila ada mahasiswa/i yang ingin minta pelayanan administrasi. Saat jam pulang kantor, mereka sangat ontime, tidak boleh terlewat semenitpun. Bila dihitung secara kasar, para amtenar kampus kita hanya bekerja efektif sekitar 6 jam. Dalam lemahnya etos kerja, birokrasi kampus kita telah disesaki onggokan amtenar berjiwa inlander, ketimbang sebagai subyek yang produktif.
Pada titik inilah titik genting pertaruhan birokrasi kampus kita untuk kedepannya. Hadirnya pendaftaran wisuda secara online bisa diartikan sebagai disrupsi. Momentum yang pas untuk membenahi sistem pelayanan akademik dan memperbaiki kinerja birokrasi kampus agar semakin menggunakan teknologi canggih kedepannya.
Disrupsi ini sudah semestinya disandingkan dengan menggenjot reproduksi kegiatan riset dan penelitian. Jangan sampai kampus kita menelurkan ribuan sarjana saban tahun dengan meninggalkan riset yang miskin isi, miskin judul dan hampa kreativitas. Kegiatan riset seperti Skripsi, Tesis, atau Disertasi, jangan berhenti sebagai kertas laporan penelitian tanpa kemampuan membangun budaya riset.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan P.IPS, FITK, UIN Jakarta
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating