Gengsi Elit Politik Bayangi Pilgub DKI

Read Time:2 Minute, 56 Second
Oleh Fahmi Fauzi Abdillah*
Pertarungan politik Pemilihan Gubernur (Pilgub) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 menjadi sebuah topik yang menarik. Mengingat saat ini kita dihadapkan dengan pertarungan antara tiga pasang calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Namun, di balik majunya tiga pasang cagub dan cawagub ke pilgub DKI pun tak terlepas dari dendam lama antara tiga tokoh nasional.
Berawal sejak masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri-Hamzah Haz dengan Kabinet Gotong Royong. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Pada awalnya SBY merupakan tangan kanan Megawati, namun berubah menjadi lawan yang cukup diperhitungkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia tahun 2004. Saat itu SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) berhasil megalahkan Mega-Hasyim Muzadi dengan perolehan suara 60,62% di putaran kedua.
Pertarungan sengit kembali berlanjut pada pilpres 2009. SBY yang berpasangan dengan Boediono diusung oleh Partai Demokrat (PD) dan partai pendukung lainnya. Sedangkan Megawati berpasangan dengan seorang purnawirawan yang cukup populer yakni Prabowo Subianto. Namun, pasangan tersebut tak bisa megalahkan popularitas SBY-Boediono yang berhasil memenangkan pilpres dengan perolehan suara 60,80%. Sedangkan pasangan Mega-Parabowo 26,79% dan JK-Wiranto hanya 12,41%.
Di akhir pemerintahan SBY-Boediono terjadi banyak kasus dugaan korupsi yang melibatkan para petinggi partai berlambang mersi itu, seperti kasus Bank Century dan proyek Hambalang, sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada pilpres 2014, saat itu PD tidak berkoalisi dengan koalisi mana pun.
Pilpres 2014  mempertemukan kekuatan baru yakni pasangan Jokowi-JK sebagai representasi dari Mega melawan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa. Padahal Mega dan Prabowo memiliki kedekatan politik, bahkan telah berkoalisi pada pilpres sebelumnya. Akan tetapi, pada pilpres kali ini mereka menjadi dua kubu yang saling bersaing cukup ketat. Hasilnya Pilpres tersebut mengantarkan pasangan Jokowi-JK menjadi presiden dan wakil presiden periode 2014-2019.
Berkaca pada pilpres 2004, 2009, dan 2014, maka lahirlah tiga kekuatan besar yang melatarbelakangi terciptanya tiga poros pada pilgub DKI Jakarta, meliputi Ahok-Djarot yang didukung oleh Megawati, Agus-Sylvi yang dimotori oleh SBY, dan Anies-Sandiaga Uno yang disokong oleh Prabowo Subianto. Keadaan ini membuat Pilgub DKI Jakarta 2017 lebih terkesan persaingan ketat antara tiga tokoh nasional. Meskipun ketiga pasang cagub dan cawagub DKI Jakarta 2017 ini cukup populer, akan tetapi popularitas mereka tidak lebih kuat dibandingkan dengan gengsi dan dendam masa lalu antara Megawati, SBY, dan Prabowo.
Dari kasus ini, maka melahirkan asumsi bahwa ketiga pasang cagub dan cawagub  dinilai mengandalkan popularitas dari tiga tokoh populer di belakangnya. Kemudian, mengkritisi fungsi partai politik, seperti yang tercantum dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, karya Miriam Budiardjo. Parpol memiliki fungsi rekrutmen, yaitu menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin (Budiardjo; 2008).
Dalam menentukan pasangan cagub dan cawagub yang akan maju pada pilgub DKI 2017 parpol dinilai terlalu terburu-buru. Pasalnya, banyak di antara ketiga pasang cagub dan cawagub itu tidak begitu matang dalam mendapatkan proses pendidikan di parpol. Banyak di antara tiga pasang cagub-cawagub yang langsung diangkat menjadi cagub-cawagub, tanpa mendapatkan pendidikan politik.
Belajar dari Pilgub DKI Jakarta 2017, maka satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah fungsi rekrutmen parpol. Sebagai tempat pendidikan politik, seharusnya parpol lebih maksimal dalam mencetak kader-kader potensial untuk menjadi pemimpin, baik itu di tingkat pusat maupun daerah. Bukan menunjuk tokoh-tokoh populer saja, tanpa mempertimbangkan kapabilitas mereka dalam memahami dasar-dasar politik yang semestinya mereka dapatkan lewat parpol.
*Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Takdir Cinta Panji Inu Kertopati
Next post Yang Muda Yang Berwirausaha