Realitas Mahasiswa Koleksi Barang Branded

Read Time:3 Minute, 7 Second
Penggunaan barang bermerek bagi mahasiswa makin berani terbuka. Konsekuensi dari perkembangan zaman yang menuntut kemewahan telah masuk ke perguruan tinggi.

Bagi Abdul Azis, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, urusan penampilan bukan hanya bagaimana cara berpakaian, tetapi juga bagaimana tampak keren dipandang orang lain. Demi memaksimalkan penampilannya sehari-hari ia bisa merogoh kocek yang tidak sedikit untuk membeli barang-barang bermerek.

Saat itu mahasiswa semester tujuh ini tengah asyik berdiskusi dengan teman kelasnya. Sesekali, Azis (sapaan akrabnya) melirik Iphone 6 kepunyaannya sambil membetulkan topi putih bermerek Nike yang dikenakannya hari itu. Ia mengakui, betapa pentingnya akan sebuah penampilan tak terkecuali saat ke kampus. “Penampilan itu bagi gua ya nomor satu,” ujarnya, Selasa (11/9).

Azis menuturkan, tak jarang ia membelanjakan uangnya untuk membeli barang bermerek istilah lain branded mulai dari jam tangan, sepatu, hingga gadget mahal masa kini. Semua itu berguna untuk menunjang penampilannya walaupun harus mengeluarkan uang hingga puluhan juta rupiah. Kebiasaan membeli barang mahal tersebut diakuinya sudah berlangsung lama bahkan sebelum berkuliah di UIN Jakarta. Tak sedikit mahasiswa menilai dirinya berlebihan dalam hal penampilan.

Hal serupa juga terdapat pada diri Linda Noviyanti, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora. Terkait penampilan sehari-hari, ia perlu menyelaraskan apa yang dikenakannya agar enak dipandang orang lain. Akan tetapi, ia mengakui ada barang yang dijadikan koleksi yaitu tas mulai dari harga Rp250 ribu sampai Rp2 juta ke atas.

Senada dengan Linda, mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fajriyatul Laili pernah membelanjakan uangnya untuk membeli tas merek “Kate Spade” seharga kurang lebih Rp3 juta. Serta tas merek “Guess” miliknya yang juga berharga jutaan rupiah, seringkali barang-barang tersebut ia kenakan ke kampus.

Terkait batasan pengeluaran, Linda tidak mematok harga tersendiri namun pernah mengeluarkan uang cukup besar untuk perawatan wajah mencapai Rp6 juta. Selanjutnya, memiliki barang bermerek bukan hal yang disengaja tapi tergantung pada kesukaan ditambah kenyamanan saat digunakan. “Kebetulan aja sihyang disuka dan nyaman rata-rata bermerek,” sahutnya, Rabu, (12/10).

Begitupun, Dzikrina Nur Fatimah mahasiswa Jurusan Ipol FISIP UIN Jakarta mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli tas, sepatu karena tertarik akan barang tersebut. Tak menutup kemungkinan ia membeli barang dengan harga murah. Ia mengakui bahwa penampilan itu penting karena mencerminkan kepribadian seseorang. Terkait aktivitas wajibnya yaitu berada di sebuah partai politik yang menuntutnya berpenampilan baik.

Sayangnya, dalam membelanjakan barang keempat mahasiswa ini masih menggunakan uang orangtua. Namun, bagi Dzikrina ada beberapa barang yang ia beli dari hasil kerjanya. Selain itu, Linda dalam hal pengeluaran belanja dan perawatan didapat dari orangtua, walaupun pernah mempunyai onlineshop yang kerap kali menghasilkan uang. Kendatipun telah mendapatkan persetujuan asalkan tidak melebihi pengeluaran orangtuanya. “Ya setuju aja asal jangan lebih dari pengeluaran mama,” ujarnya.

Berbeda dengan Linda, Fajriyatul Laili yang akrab disapa Riri ini sebagian besar menggunakan uang pribadinya. Walaupun masih mendapat uang bulanan dari orangtua, ia kerap bekerja paruh waktu di akhir pekannya.”Ikut event gitu, lumayan perharinya Rp250 ribu,” terangnya melalui pesan Whatsapp, Kamis (13/10).

Kecenderungan membeli barang-barang bermerek dengan harga mahal merupakan tren budaya barat. Hal ini juga diamini oleh Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan, Yusron Razak. Menurutnya, ini menjadi konsekuensi yang logis dari perubahan Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN. Pasalnya, perubahan tersebut berimbas pada masuknya beragam latar belakang pendidikan dan berimplikasi pada corak gaya hidup mahasiswa. “Kalo enggak ikut tren, enggak  gaul,” tegasnya, Rabu (12/10).

Perilaku dalam membelanjakan uang yang berlebihan ini dianggap Yusron tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang berkaitan dengan nilai kesederhanaan. Apalagi itu bisa menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara mahasiswa lain. Bahkan ditakutkan untuk memperoleh barang mahal tersebut dengan cara yang tidak halal. Apalagi perilaku bermewah-mewahan ini berujung pada penggunaan obat-obatan terlarang seperti Narkoba.

Eli Murtiana

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Bela Rakyat Lewat Aksi 121
Next post Budaya Patriarki dalam Politik