Read Time:2 Minute, 31 Second
Perjuangan Kartini berdampak besar kepada seluruh wanita Indonesia saat ini, termasuk lima perupa wanita yang berpesan melalui karya-karya seninya. Pengunjung diajak untuk bercermin di mata perempuan dengan melihat lukisan-lukisan yang ada.
Ruangan berbentuk persegi panjang dan berdinding warna putih menjadi tempat lukisan-lukisan karya para perupa dipajang. Beberapa seni rupa tiga dimensi digantung di langit-langit ruangan, sedangkan sebagian lainnya disusun di atas rak sederhana. Karya-karya yang dipamerkan dihujani cahaya lampu berwarna kuning kejinggaan sehingga menambah kesan vintage.
“Kau boleh menginjak-injak aku di comberan. Namun, bagai debu, aku akan bangkit. Kau boleh membunuhku dengan kebencian. Namun, bagai udara, aku akan bangkit”. Itulah penggalan dari sebuah puisi karya Maya Angelou, “Still I Rise”, yang terpampang di depan pintu masuk ruang pameran Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Penggalan puisi yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia itu menyambut pengunjung sebelum mereka disuguhkan oleh lukisan-lukisan para perupa yang memanjakan mata.
Jika kebanyakan perupa adalah seorang pria, maka pameran ini berbeda adanya. Goresan-goresan cat di atas kanvas ini adalah karya para perupa wanita. Mereka adalah Trinawangwulan, Dyan Anggraini, Ria Andaryanti, Aishah Abdul Latif, dan Hartina Ajir.
Kelima perupa tersebut merupakan lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Inonesia “ASRI” Yogyakarta (sekarang Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Mereka mengajukan hasil karya mereka untuk dipamerkan di BBJ. “Kita memamerkan karya kami untuk sekalian reunian saja,” ujar Trinawangwulan atau akrab dipanggil Wawang, Selasa (24/4).
Pameran dengan tema “Bercermin di Mata Perempuan” ini dibuka bertepatan dengan Hari Kartini. Dari pameran seni rupa yang bertema khas dengan “Kartini” ini, para perupa menyampaikan pesan bahwa perempuan juga mampu bersaing di pelbagai sektor tanpa batasan gender, khususnya di sektor seni.
Empat dari beberapa lukisan yang dipamerkan merupakan karya terbaru Wawang yang dibuat pada tahun 2018. Lukisan semi abstrak tersebut dibuat oleh Wawang memakai acrylic campur cat minyak. Ia mulanya ingin lukisan tersebut dibuat dengan warna hitam putih, tetapi menurutnya akan menjadi kurang menarik. “Akhirnya, saya pakai warna cokelat dengan nuansa sepia seperti foto-foto kuno,” jelas Wawang mengenai lukisannya yang dipamerkan.
Menurut salah satu pengunjung pameran, Ani, lukisan Dyan Anggraini dan Trinawangwulan-lah yang paling berkesan baginya. Lukisan karya Dyan menampilkan getirnya kehidupan seorang perempuan. “Kita dapat melihat masalah yang dihadapi perempuan terasa sangat kelam,” ungkap seorang wanita yang sedang mengikuti program belajar seni rupa kontemporer tersebut, Selasa (24/4).
Tidak hanya masyarakat umum yang mengunjungi pameran seni rupa ini, nampak mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo bersama istrinya, Sri Hartati, juga berkunjung untuk turut mengapresiasi pameran yang sedang dilaksakan di BBJ ini. “Pameran seperti ini harus terus dilakukan untuk Indonesia agar penduduknya berwawasan lebih terbuka,” komentar Fauzi Bowo ketika berbincang dengan salah satu kru dari Kompas ID, Selasa (24/4).
Namun, hal yang sangat disayangkan adalah sepinya pengunjung yang datang. Tidak hanya pada pameran seni rupa ini, sepinya pengunjung seakan merupakan hal lumrah yang terjadi di pameran-pameran seni mana pun. Hal itu terjadi karena kurangnya wawasan masyarakat mengenai seni. Padahal, seperti apa yang dikatakan Fauzi Bowo, pameran itu sendirilah yang dapat menambah wawasan kita terhadap banyak hal, khususnya di bidang seni.
MSSD
Average Rating