Read Time:3 Minute, 3 Second
Begitu memasuki ruang pameran, terdapat sejarah perjalanan hidup Pram di dinding pameran. Berdasarkan pameran perjalanan hidup Pramoedya Ananta Toer. Kehidupan Pram bukanlah kehidupan yang mudah. Meskipun sangat produktif, namun hasil kerjanya tidak lepas dari lika-liku hidupnya yang keras. Menyaksikan pergantian zaman dan penguasa, wajar jika Pram merasakan manis getirnya penguasa. Dari mulai masa penjajahan Belanda, Jepang hingga Indonesia merdeka 1945.
Meski keadaan lingkungan Pram bergejolak, Pram tidak pernah mundur untuk tetap menulis. Bagi Pram menulis merupakan salah satu cara untuk menuangkan pikiran dan menyampaikan cita-cita. Meskipun ia pernah dilarang untuk menulis, namun impiannya menjadikan masa depan Indonesia—melalui tulisan— yang lebih baik tak pernah surut.
Di setiap dinding-dinding pameran, pengunjung bisa melihat kutipan-kutipan terkenal Pram Seperti “Jangan berlagak tidak mengerti. Kalian cukup mengerti apa yang harus kalian lakukan. Lakukanlah yang terbaik untuk Indonesia dan untuk kalian sendiri. Kalian cukup pandai, kalian cukup punya keberanian, kalian cukup punya keahlian mempersatukan semua angkatan muda. Bergerak! Terus sampai tercapai tujuan dan selamat.”
Dalam kutipan tersebut Pram ingin menjelaskan tanggung jawab kita sebagai masyarakat Indonesia. Hal yang harus kita lakukan untuk Indonesia dengan kemampuan yang kita miliki. Agar kita bisa mencapai tujuan Indonesia, yaitu membawa perubahan dan menjadikan Indonesia maju.
Beralih ke ruang yang lain, pengunjung akan disuguhkan tulisan Pram yang ditulis di atas bekas kertas semen dari pembangunan di Pulau Buru. Lebih jauh, pengunjung terasa diajak hadir dalam kehidupan Pram kala tas yang dipakai ketika Pram pergi dari pulau Buru dan baju yang biasa dipakai sehari-hari dipamerkan. Juga naskah-naskah yang ditulis Pram, foto-foto di penjara Salemba, saat Pram bertemu kembali dengan keluarganya, dan buku-buku hasil karyanya, membuat Pram terasa kembali hidup.
Di samping tas dan pakaian, dalam meja kaca dihadirkan koleksi surat-surat yang ditulis Pram untuk keluarganya saat berada di penjara. Berdasarkan surat-surat itu, dapat kita rasakan keharmonisan keluarga Pram. Untuk menambah nuansa pameran lebih nyata, penyelenggara juga menyuguhkan video. Di ruang belakang juga terdapat lukisan-lukisan pram beserta keluarganya.
Pameran yang mengusung tema “Namaku Pram: Catatan dan Arsip” merupakan pameran tentang perjalanan dan kisah hidup Pramoedya Ananta Toer atau yang lebih akrab disapa Pram. Ia lahir di Blora, 08 Februari 1925 diberi nama Pramodya Ananta Mastoer, anak sulung dari 9 bersaudara. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri, seorang guru dan ibunya Oemi Saidah seorang ibu rumah tangga.
Pram adalah seorang sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia. Pram juga dikenal sebagai orang yang paling produktif dan dokumentator dalam sejarah sastra Indonesia. Selama hidup, Pram telah menulis 50 karya dan sudah diterjemahkan kedalam 42 bahasa asing.
Sejak kelas tiga Sekolah Dasar, Pram mulai menulis meski hanya buku harian. Pram lebih suka menulis karena ia malu untuk berbicara. Pada tahun 1950, Pram bekerja sebagai editor pada penerbitan balai pustaka di bidang sastra modern dan editor majalah Indonesia.
Salah seorang pengunjung Indah mengatakan bahwa Ia datang ke pameran karena kekagumannya pada sosok Pramoedya Ananta Toer dan karya-karya yang dihasilkannya. Menurutnya, saat ini publikasi tentang Pram masih kurang, karena masih banyak yang belum mengetahui sosok Pram. “Adanya pameran ini membuatnya lebih mengenal latar belakang Pram,” ujarnya, Minggu (20/5).
Dari beberapa karya-karya Pram, terdapat empat novelnya menjadi sorotan dunia yang dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru. Empat novel yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak langkah. Keempat karya itu ditulisnya semasa menjalani tahanan di Pulau Buru. Bahkan pada 2000 Pram mendapat penghargaan New York Foundation For Arts Award di New York, dan Fukuoka Cultural Grand Prize di Jepang.
HA
Average Rating