Read Time:2 Minute, 19 Second
PALU – Ketika gempa pertama kali mengguncang Palu, Marsha sedang bersama ayah, ibu, dan adiknya. Seperti rutinitas biasanya, sore menjelang petang, Marsha hendak membantu ayahnya menutup kios dagangannya di Kelurahan Layana, Mantikulore, Palu. Namun, gempa datang mengguncang. Marsha dan keluarga panik, lalu lari berhamburan keluar rumah.
Menurut ingatan Marsha, sang ayah langsung menghampiri kendaraan bermotornya untuk pergi ke tempat aman sama-sama. “Cuma ayah lupa membawa kunci, dia minta ibu mengambilnya di dalam rumah. Gempa masih saja buat kita semua bergoyang, bahkan semakin kencang. Saya teriak ‘Ibu cepat, Ibu’,” Marsha mulai bercerita.
Lebih dari lima menit, Marsha tak juga melihat ibunya keluar rumah. Sampai akhirnya ombak besar datang, menghantam segala yang ada di tepi pantai itu. Marsha, ayah, dan adiknya turut tersapu. Menurut Marsha, mungkin juga sang ibu, yang sedang mencari kunci di dalam rumah, ikut terbawa air pantai.
“Selepas itu saya tidak ingat lagi, pas bangun saya sudah berada di balik reruntuhan. Kepala saya tertimpa kayu-kayu, sakit sekali,” kata Marsha.
Marsha yang merasa ketakutan, spontan memanggil sang ayah. “Ayah, Ayah,” begitu ia teriak sekencang-kencangnya. Beberapa kali memanggil, tak lama ia mendapatkan jawaban. Tanpa melihat sosoknya, Marsha mendengar beberapa kalimat persis seperti dari suara sang ayah.
“Kau diam saja di situ, jangan bergerak, jangan ke mana-mana. Biar Papa yang minta bantuan,” jelas Marsha, mengulang perkataan sang Ayah ketika itu.
Beberapa jam Marsha menunggu, tak juga ia dengar sang Ayah meminta tolong. “Mungkin papaku tidak kuat teriak. Akhirnya saya beranikan diri teriak. Setelah 8 jam hanya diam saja di tempat, ada suara yang datang. Rupanya dia om baik, dia orang yang bantu aku keluar dari reruntuhan. Habis itu aku tidak ingat lagi apa yang terjadi,” papar Marsha.
Marsha tersadar ketika dirinya sudah berada di halaman Rumah Sakit Undata, Palu. Di atas ranjang rumah sakit, Marsha bertemu dengan dokter dan beberapa perawat. “Dokter bilang kepalaku haru dijahit, aku tolak. Cuma kata mereka haru tetap dijahit, jadi aku hanya bisa diam saja,” ungkap Marsha.
Keesokan harinya baru Marsha bertemu ayah dan neneknya. Marsha sempat bersyukur ketika itu. Namun, semuanya buyar ketika Marsha tahu bahwa adiknya tidak selamat. “Saya sedih, adik tidak selamat. Ia ditemukan hari Minggu, dan sudah dikubur,” kata Marsha.
Hingga tim Aksi Cepat Tangga bertemu dengan Marsha di RS Undata Palu pada 4 Oktober lalu, ibunda Marsha masih belum ditemukan. Sang Ayah yang selamat dari bencana tsunami itu pun masih terus melakukan upaya pencarian. “Papa lagi pulang ke rumah, berusaha mencari mama. Saya berharap, hidup atau tidak hidup, semoga mama bisa ketemu,” tuturnya.
Marsha, satu dari sekian banyak anak yang kuat bertahan dari bencana tsunami. Tak hanya menahan sakit pada luka di badan, Marsha juga menahan sesak di dada karena harus rela menerima kenyataan bahwa orang-orang kesayangannya telah tiada akibat terkena bencana. [] Nimas Afridha Aprilianti
Average Rating