Hak Berpendapat Dibungkam, Rektor Laporkan Ke Mahkamah Etik

Hak Berpendapat Dibungkam, Rektor Laporkan Ke Mahkamah Etik

Read Time:3 Minute, 45 Second

Hak Berpendapat Dibungkam, Rektor Laporkan Ke Mahkamah Etik

Unjuk rasa menolak hasil e-voting dianggap melanggar kode etik dan pencemaran nama baik Rektor UIN Jakarta. Alhasil, aksi tersebut berimbas pada dilaporkannya para pengunjuk rasa kepada Senat Universitas UIN Jakarta.

Maret 2019 silam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah usai melaksanakan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Pemira tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab telah menerapkan sistem e-vo-ting hasil dari kebijakan Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis.

Pemira yang dilaksanakan pada Selasa (19/3) lalu, mulanya berjalan DEngan kondusif dan tenang, tetapi seusai perhitungan suara situasi mulai berubah. Pada pukul 20.00 WIB, Ruang Aula Madya lantai 1 sebagai tempat perhitu- ngan total suara mulai ramai dikerumuni sekelompok mahasiswa.

Situasi kampus kian memanas kala sekelompok mahasiswa beralih menuju parkiran Student Center untuk melakukan aksi, lantaran adanya indikasi kecurangan hasil perhitungan e-voting. Aksi tersebut diwarnai kericuhan antar mahasiswa, namun berhasil dibubarkan oleh petugas keamanan kampus.

Tak hanya sampai disitu, massa kemudian bergerak ke depan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK)  untuk melanjutkan aksinya, tetapi kali ini dengan disertai atribut spanduk yang bertuliskan “Tolak E-Voting” hingga pukul 24.00 WIB. Perihal aksi ini, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Masri Mansoer menemui para demonstran untuk membahas perihal hasil e-voting. Massa pun membubarkan diri seusai mendapatkan izin berdemo pada besok hari.

Keesokan harinya Rabu (20/3) pukul 13.00 WIB, sekelompok mahasiswa melanjutkan unjuk rasa dengan mendatangi gedung rektorat menolak hasil e-voting pemira. Melihat massa yang kian berkumpul, Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis bertemu dengan para demonstran. Di hadapan mahasiswa, Amany menyampaikan perihal masalah hasil e-voting. Menurut Amany, bila ada kekurangan dengan hasil e-voting, maka akan menindaklanjuti akar sumber masalahnya.

Di sisi lain, unjuk rasa mahasiswa tersebut membuat Amany geram sebab para demonstran dinilai tidak santun dalam melaksanakan aksi unjuk rasa. Hal ini kemudian berujung pada keluarnya surat pelaporan rektor kepada Senat Universitas UIN Jakarta pada 22 Maret 2019 dengan Nomor B-627/R/HM 01 3/02/2019  perihal  pencemaran nama baik.

Isi surat tersebut berisikan pengaduan Amany terhadap aksi para mahasiswa yang menolak hasil e-voting dengan disertai kata-kata kasar. Rektor kemudian mengajukan permohonan kepada Senat Universitas untuk menindaklanjuti laporannya ke Mahkamah Etik agar para pelaku dapat diproses sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena hal tersebut telah berimbas pada  pencemaran nama baik dan melanggar kode etik mahasiswa saat berdemonstrasi.

Amany beranggapan, yang ia lakukan adalah upaya untuk menegakan kode etik mahasiswa saat berada di lingkungan kampus. Sebagai bukti laporan, rektor melampirkan gambar-gambar demonstrasi yang beredar. Tak hanya gambar, ia pun juga memiliki bukti lain berupa video yang bisa dilihat di youtube. “Intinya untuk menegakan kode etik,” tegasnya, Senin (8/4). 

Berdasarkan dari Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 469 Tahun 2016 Tentang Kode Etik Mahasiswa Pasal 5 tertulis mahasiswa dinilai melakukan pelanggaran apabila mengucapkan kata-kata kotor dan tidak sopan serta mencemarkan nama baik seseorang atau lembaga. Jika mahasiswa melanggar, maka akan dikenakan sanksi ringan, sedang, berat bahkan sanksi pidana.

Menanggapi perihal surat laporan rektor, Reporter Institut kemudian menemui Ketua Senat Universitas UIN Jakarta Abuddin Nata untuk menanyakan tindak lanjut surat tersebut. Menurut Abuddin Senat Universitas telah menindaklanjuti laporan rektor dengan mengadakan rapat senat di ruang sidang Senat Universitas padaKamis (11/4) lalu. Alhasil dari putusan rapat, Senat Universitas telah menyarankan agar rektor melakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu.

Tak hanya itu, Abuddin juga beranggapan jika kasus ini bukan ranahnya mereka dalam bertugas. Karena tugas senat tidak mengurusi mahasiswa secara langsung. Senat Universitas bertugas dalam mengatur kebijakan-kebijakan yang sifatnya akademik.

Selain itu, menyoal unjuk rasa yang disertai kata-kata kasar. Abuddin Nata bahkan mempertanyakan siapa yang akan dikenakan sanksi nantinya karena yang melakukan unjuk rasa dengan jumlah massa yang tidak sedikit. Dikhawatirkan akan ada hal yang tidak diinginkan seperti salah tangkap. “Dalam jumlah massa yang ba-nyak, akan sulit menemukan mahasiswa yang dicurigai,” tutur Abudin.

Abuddin menambahkan jika mahasiswa yang berdemonstrasi itu secara psikologis memang sedang emosi. Jadi, apa yang mahasiswa lakukan disebabkan karena tersulut oleh amarah.
Menurut Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta 2019 terpilih Sultan Rivandi  mengatakan harus ada cara lain dalam menyelesaikan perkara ini. Tak melulu masalah diselesaikan dengan gugatan. “Saya rasa perlu duduk bersama dan klarifikasi maksudnya seperti apa, karena demo itu hal lazim,” ucapnya, Senin (8/4).

Senada dengan Sultan, menurut Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Helmi Huwaidah  perlu adanya mediasi dan harus didiskusikan kembali dalam mengambil jalan keluar. Menurutnya, seorang pemimpin harus terbuka untuk menerima aspirasi mahasiswa.

RIZKI DEWI AYU & NURUL DWIANA

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Tabloid Edisi 55
Solusi Kesehatan Murah Masyarakat Next post Solusi Kesehatan Murah Masyarakat