Read Time:5 Minute, 7 Second
*Oleh: Rizki Ulfahadi
Beberapa tahun belakangan, media sosial Indonesia layak dikatakan “sedang” tidak sehat. Banyak konten-konten yang tidak bermanfaat muncul, fitnah diluncurkan, prasangka buruk diumbar, caci maki menjamur, hate speech merajalela di beranda-beranda online, yang hadirnya dari kesemua itu memiliki hubungan erat dengan wabah hoax yang akhir ini menyerang dan menjadi problem serius kebangsaan.
Data dari Centre for International Governance Innovation (CIGI) 2017, menjelaskan bahwa memang masyarakat Indonesia sangat mudah percaya akan hoax. Dari total 132 juta pengguna internet di tahun 2016, 65% nya ternyata mudah terhasut hoax, angka mengejutkan inilah yang menempatkan Indonesia di peringkat ke tujuh sebagai negara yang gampang percaya hoax.
Hasil survey dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada tahun 2017 menyatakan, bahwa ternyata saluran penyebaran berita hoax terbesar adalah media sosial yaitu sebanyak 92,40% dengan jenis atau isu tertinggi adalah sosial politik dan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Data-data tersebut tentunya menjadi sangat mengkhawatirkan, sebab media sosial adalah medium yang begitu mudah diakses, masyarakat di pelosok negeri pun sekarang bisa menikmati bagian dari produk kemajuan teknologi ini.
Potret hoax ini kemudian diperparah dengan jenis konten yang paling intens muncul adalah tentang sosial politik dan SARA yang sensitif serta rawan memunculkan konflik, permusuhan bahkan perpecahan bangsa. Merebaknya peredaran hoax di media sosial ini memberikan dampak negatif yang signifikan. Menurut Lutfi Maulana, beberapa dampak yang dihasilkan tersebut antara lain: a) merugikan masyarakat, karena berita-berita hoax berisi kebohongan besar dan fitnah; b) memecah belah publik, baik mengatas-namakan kepentingan politik maupun golongan tertentu; c) mempengaruhi opini publik, hoax menjadi provokator; d) berita-berita hoax sengaja dibuat untuk kepentingan mendiskreditkan salah satu pihak sehingga bisa mengakibatkan adu domba terhadap sesama kelompok atau umat beragama; e) Sengaja ditujukan untuk menghebohkan masyarakat, sehingga menciptakan ketakutan.
Setidaknya ada tiga faktor umum yang melatarbelakangi hadirnya hoax. Pertama, faktor politis. Kedua, faktor ideologis. Ketiga, faktor ekonomis. Tiga faktor ini semuanya sarat kepentingan. Ada maksud-maksud tertentu yang ingin dicapai, mulai dari yang memproduksi dan yang membagikan. Khusus untuk yang membagikan, bisa saja ia tidak memiliki kepentingan, justru ia adalah korban hoax yang tanpa sadar ikut-ikutan membagikan hoax.
Tiga faktor yang kompleks tersebut membuat hoax begitu sulit diredam, walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya. Di samping itu, ada faktor lain yang saya kira ikut menyumbangkan andil bagi tumbuh dan menjamurnya hoax di negeri ini. Pertama, pengguna internet Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2016 pengguna internet di Indonesia sudah meningkat signifikan dari tahun 2014 yang 88,1 juta menjadi 132,7 juta dari 256,2 juta total penduduk yang ada. Tahun 2017 meningkat lagi, menjadi 143,26 juta dari total 262 juta penduduk. Dua tahun yang lalu saja sudah lebih setengah dari penduduk negara ini telah menjadi pengguna internet aktif.
Dengan bertambahnya pengguna internet, maka persebaran hoax akan semakin luas dan cepat. Satu postingan hoax yang muncul di media sosial dalam beberapa jam saja sudah mampu menjangkau wilayah hingga pelosok dan bisa hinggap di jutaan layar HP, jutaan pikiran masyarakat.
Selain pengguna internet yang terus bertambah, kebebasan yang ditawarkan oleh media sosial pun ikut menunjang menjamurnya hoax. Pada dasarnya, media sosial dihadirkan untuk memudahkan masyarakat dalam berkomunikasi, berinteraksi, serta mengekspresikan diri. Media sosial memberikan ruang kebebasan kepada penggunanya untuk menuangkan ekspresi ataupun gagasannya kepada orang lain, bisa secara interpersonal atau kepada kelompok. Di media sosial konten sepenuhnya milik pengguna atau pemilik akun inilah yang disebut dengan user gererated content (UGC).
Pada sisi yang lain, kebebasan dan UGC pada media sosial tadi telah mempermudah masyarakat menciptakan dan mengunggah, menggandakan, memanipulasi, menyunting tulisan, gambar, video, dan membagikannya secara masif tanpa rasa takut dan khawatir. Siapapun akan dengan mudah memberi dan menerima informasi apa saja tanpa sekat ruang dan waktu dan tanpa diliputi kekhawatiran atas akibat yang mungkin ditimbulkannya.
Alhasil, konten “sehina” hoax pun tanpa sadar, atau memang mungkin dengan “sadar” ikut tersebar dengan mudahnya. Ada yang menjadi produsen, ada yang menjadi konsumen yang tanpa sadar memposisikan diri sebagai penikmat hoax di pagi dan malam hari, ada juga yang sambil minum kopi menyentuh bagian layar handphone untuk bersama berbagi hoax. Sadisnya, di bulan Ramadhan kemarin pun, sambil menyantap makan sahur dan sambil ngabuburit hoax masih saja meramaikan beranda media online.
Akankah setelah bulan Ramadhan dan syawal yang sedang berjalan ini kita masih “berbagi hoax”?
Kita sedih melihat kebencian yang tumbuh dan berkembang kepada sesama cuman karena analisa sesaat terhadap berita bohong yang dibaca lalu instannya langsung mengambil kesimpulan yang tertanam bahkan menjadi kepercayaan di kepala.
Kita sedih melihat caci maki dilontarkan kemana-mana bahkan kepada saudara sendiri hanya karena menonton video-video yang telah diedit dengan keterangan terhadap video yang tidak tepat sengaja dibuat sesuai kepentingan atau atas dasar hawa nafsu jahat.
Kita prihatin menyaksikan kesimpulan-kesimpulan keliru yang ditangkap oleh masyarakat karena gambar-gambar hoax yang beredar. Diperparah oleh minat baca yang rendah, daya kritis yang tumpul, hoax benar telah dan akan menjadi masalah serius kebangsaan. Karena hoax kebencian antar sesama akan tumbuh, konflik sosial meningkat, permusuhan serta perpecahan pun rentan terjadi.
Hoax akan terus menjadi tantangan bagi bangsa, sulit untuk meredam tersebarnya hoax jika tidak adanya kesadaran “tabayyun” dari individu masyarakat sendiri. Hoax sarat kepentingan bahkan sengaja dibuat oleh pihak tertentu. Sehingga, sewaktu-waktu hoax bisa saja kembali datang, hanya tinggal bagaimana kita menjaga diri kita agar tidak menjadi korban hoax, dan tidak menjadi orang yang ikut menyebarluaskan hoax.
Bulan Ramadhan kemarin hendaknya menjadi ajang untuk melatih diri kita. Melatih jari-jari tangan agar mampu menahan, tidak gampang menyentuh fitur “bagikan” terhadap konten atau berita yang kebenarannya belum dipastikan. Melatih hati dan otak juga, mengasah kebijaksanaan agar tidak terburu-buru meng-judge atau mengambil kesimpulan terhadap sesuatu yang kita tidak benar-benar ketahui tentangnya.
Melatih, memupuk, memelihara serta mengembangkan sikap tabayyun adalah target yang insyaallah kita capai di bulan Ramadhan kemarin. Sehingga di bulan syawal ini kita dengan bahagia menyambut dan membersamai fajar kemenangan menjadi pribadi yang lebih baik, lebih kritis, lebih bijaksana dengan harapan Indonesia yang lebih sehat tanpa hoax.
*Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir
Average Rating