Bumi Manusia: Perlawanan Menghapus Feodalisme

Bumi Manusia: Perlawanan Menghapus Feodalisme

Read Time:2 Minute, 49 Second

Bumi Manusia: Perlawanan Menghapus Feodalisme
Berada dalam kasta sosial tinggi tak membuat Minke terbebas dari masa-masa sulit. Bahkan, ia harus berjuang menuntut keadilan bagi diri, mertua, dan bangsanya.
Tiada kisah seperih romansa masa lalu, sebuah peradaban kolot jauh dari kata kemajuan. Perbedaan kasta, budaya, bahasa, idealisme hingga gagasan kerap saling beradu. Era kolonial selalu menampilkan torehan luka pada nilai kemanusiaan. Inilah yang dirasakan Minke seorang pemuda pribumi Jawa tulen yang jatuh hati kepada seorang gadis cantik keturunan Indonesia-Belanda. 
Pertemanan Minke dengan Robert Surhof –teman sekolah di Hoogore Burgerschool—  mengantarkannya berjumpa dengan sosok gadis pujaan hatinya. Sebut saja Annelies Mellema,  gadis ayu kepunyaan Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema. Selain bertemu dengan Annelies di Boerderij Buitenzorg sebuah Perusahaan Pertanian, Minke juga bertemu dengan ibu kandungnya.
Berada dalam golongan pribumi dengan kasta sosial tinggi, Minke sebenarnya bebas melakukan apa saja yang ia mau, termasuk dalam hal pergaulan. Ia bebas bergaul dengan siapapun yang ia pilih. Namun, sebagai Pribumi yang terpandang, Minke justru berhadapan dengan masa-masa sulit. Masa sulit tersebut muncul saat Minke begitu dekat dengan Annelies sosok gadis yang telah menyalakan api asmara. Namun siapa sangka, Annelies terlahir dari rahim gundik orang Belanda.  
Lain halnya dengan apa yang dirasakan Minke, Annelies merupakan seorang anak yang begitu mengagumi ibunya sendiri, Nyai Ontosoroh. Baginya menjadi seorang pribumi yang utuh dan menikah dengan seorang pribumi adalah impian luhur. Hadirnya Minke menjadi oase kala dahaga cinta menimpa Annelies. Adapun Nyai Ontosoroh merupakan seorang istri simpanan Herman Mellema sehingga dinilai negatif oleh lingkungannya.
Pada masa kolonial, budaya feodal masih mengakar kuat. Posisi nyai atau gundik orang asing mempunyai harga diri rendah dan juga dipandang sebelah mata. Derajat seorang nyai tak berbeda jauh dengan binatang peliharaan. Beruntung, Nyai Ontosoroh dididik dengan pengetahuan serta manajemen yang baik oleh suaminya sendiri.  Tak ayal hal itu membuat perusahaan pertanian milik Mellema semakin berkembang pesat.
Minke menganggap Nyai Ontosoroh layak untuk memiliki posisi terhormat. Bukan soal status sosialnya, namun karena gagasan-gagasan yang ada di kepalanya. Kedekatan Minke dengan Nyai Ontosoroh membuka pandangan tentang dunia Eropa baginya. Di tunjukan pada saat itu, Eropa dengan kekayaan intelektual belum mampu menjamin menempatkan hak-hak manusia dengan layak dan pantas. Meskipun ditentang ayahnya, Minke percaya masih ada hal-hal baik yang dapat mengubah bagaimana cara seseorang melihat sosok Nyai.
Kematian Herman Mellema menjadi tanda tanya besar bagi setiap orang. Kesedihan pihak keluarga Annelies tak hanya karena kematian ayahnya tersebut. Berbagai Fitnah didapatkan Nyai Ontosoroh saat di pengadilan, ia dituduh sebagai pembunuh suaminya sendiri. Masalah tersebut selesai, muncul lagi masalah baru. Konflik makin rumit ketika Nyai harus memperjuangkan hak-haknya di ranah kehidupan feodal. Nyai tak diakui oleh pengadilan sah tentang kepemilikan Annelies. Ia dihujat dan digunjingkan di tanah kelahiran sendiri oleh kaumnya. 
Film yang diadopsi dari karya Pramoedya Ananta Toer ini mengisahkan perjuangan Minke seorang pribumi yang menuntut keadilan bagi diriya, mertua, dan bangsanya. Perjuangan yang akhirnya meruncing menjadi pertentangan antara Hukum Eropa dan Hukum Islam. Hukum Eropa sebagai sebuah tatanan aturan yang dianggap ‘beradab’ dan ‘modern’ ternyata tak lebih dari sekadar hukum yang menjerat dan menyengsarakan.
Dengan durasi 180 menit, film yang digarap oleh Sutradara Hanung Bramantyo ini berhasil membuat penonton ikut merasakan kisah perjuangan Minke terhadap cintanya dan kesetaraan kaumnya. Perjuangan tersebut harus mundur tatkala pengadilan Eropa memutuskan untuk mencabut hak asuh Nyai Ontosoroh terhadap Annelies. Alhasil Annelies harus kembali ke Belanda dan diasuh oleh pihak keluarga Herman Mellema.
Sefi Rafiani

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Peringati Arkadia 30 Tahun Previous post Peringati Arkadia 30 Tahun
Hijrah Milenial: Dorongan atau Tren Belaka Next post Hijrah Milenial: Dorongan atau Tren Belaka