Nasib Anak Korban Pemerkosaan

Nasib Anak Korban Pemerkosaan

Read Time:2 Minute, 47 Second

Nasib Anak Korban Pemerkosaan

Belum lama ini di media sosial masyarakat dikagetkan dengan kasus pemerkosaan anak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bekasi yang ingin menikahi korban yang diperkosanya. Tentu hal ini menuai reaksi publik dan kecaman, sejumlah pihak menilai bahwa niat pelaku untuk menikahi korban hanya ingin melarikan diri dari jerat hukum yang berlaku.

Sudah hampir tiga bulan kasus anak DPRD Bekasi ini bergulir, media massa secara rutin memberitakan perkembangan dari kasus ini. Kasus ini bermula dari seorang anak DPRD Bekasi yang diduga melakukan tindakan pemerkosaan kepada anak di bawah umur. Selain memerkosa, si pelaku diduga mempekerjakan korban sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).

Tindakan yang dilakukan pelaku menimbulkan reaksi keras terlebih Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada perlindungan anak. Menurut pernyataan ayah korban, kini anaknya menderita penyakit kelamin akibat melakukan hubungan seks pra nikah dengan usia yang belum seharusnya melakukan hubungan intim.

Menanggapi kasus tersebut, Fasilitator Forum Anak Kota Tangerang Sarah Haderizqi sangat menyayangkan sekali kasus pemerkosaan tersebut terlebih korbannya adalah anak yang masih di bawah umur. “Kalau korban dinikahkan dengan pelaku pasti pernikahan tersebut akan menjadi mimpi buruk bagi si korban,” katanya.

Sarah juga menambahkan, seharusnya pernikahan bukan menjadi solusi penyelesaian dari kasus pemerkosaan. Solusi yang baik adalah harus menempuh jalur hukum. Mantan Duta Anak Kota Tangerang ini juga menekankan supaya korban diberi pendampingan psikis dan mendapatkan dukungan keluarga. Mengingat masih banyak orang yang menyalahkan korban atas pemerkosaan yang dialaminya.

Kasus pemerkosaan anak menimbulkan dampak yang beragam bagi si anak tersebut. Tidak sedikit korban pemerkosaan yang akhirnya bersedia dinikahkan oleh si pelaku. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh pemerhati anak dan aktivis kesehatan perempuan Yuli Supriarti. “Anak sering dibujuk rayu dalam soal penyelesaian pemerkosaan sehingga banyak di antara mereka yang bersedia menikah,” jelasnya.

Yuli juga menambahkan kasus seperti ini sedikit sekali yang berani mengambil sikap karena faktor gender di Indonesia menempatkan perempuan di tempat yang salah ketika terjadi kasus pemerkosaan. Dianggapnya perempuan tidak bisa menjaga diri.  Menurut Yuli korban seharusnya dilindungi tetapi banyak masyarakat yang tidak mendapatkan paham mengenai penyelesaian masalah ini. ”Masyarakat tidak teredukasi mengenai dampak jangka panjang dan mengenai bahwa ada prosedur hukum yang berlaku untuk permasalahan ini,” tuturnya saat diwawancarai via G-meet.

Aktivis kesehatan perempuan ini menegaskan kembali bahwa peran orang tua dalam mendidik anak menjadi faktor penting untuk tumbuh kembang si anak, untuk itu Yuli berpesan bagi para orang tua supaya bisa membangun hubungan yang harmonis dengan anak-anaknya.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Rosdiana memaparkan bahwa hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi, bahwa negara menjamin setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Terkait menikahkan anak dengan pelaku pemerkosaan, Rosdiana menambahkan, pemaksaan perkawinan (forced marriage) dilarang dalam Konstitusi, Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU HAM), UU Perlindungan Anak, dan UU Perkawinan, dengan dasar bahwa setiap orang harus memasuki perkawinan berdasarkan pilihan bebas, serta orang tua dan negara berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan anak. ”Menikahkan anak korban pemerkosaan dengan pelaku bukan pilihan yang bijak.” Tuturnya.

Rosdiana juga menambahkan pengaturan sanksi pidana terhadap pemerkosa anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pada Pasal 287 ayat (1) dengan maksimal hukuman penjara selama sembilan tahun. “Sayangnya penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan anak dianggap tidak memberikan efek jera karena seringkali hakim memberikan sanksi pidana yang terlalu ringan,” pungkasnya.

Firda Amalia & Anggita Raissa

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Palestina dalam Perspektif Teologi Kristen Previous post Palestina dalam Perspektif Teologi Kristen
MUI Kirim Surat Soal Palestina untuk Joe Biden Next post MUI Kirim Surat Soal Palestina untuk Joe Biden