Satu Senyum untuk Penderita Celah Bibir dan Langit-langit

Satu Senyum untuk Penderita Celah Bibir dan Langit-langit

Read Time:3 Minute, 3 Second

 

Satu Senyum untuk Penderita Celah Bibir dan Langit-langit

Dari satu senyum, wujudkan dukungan dan semangat untuk mereka para penderita celah bibir dan celah langit-langit.



Komunitas Satu Senyum (KiSS) adalah sebuah forum berbagi untuk para individu yang terlahir dengan kelainan celah bibir dan langit-langit (CBL). Komunitas ini didirikan di Jakarta, pada 4 November 2013 oleh empat orang ibu dengan anak mereka yang mengalami kelainan CBL. 


Diah Asri bersama tiga ibu lainnya, yaitu Dwi Cahyaningsih, Gina S. Noer, dan Naniek Ariastuti memiliki visi yang sama dalam proses pendirian KiSS, yaitu untuk merangkul dan memberikan wadah bagi para penyintas CBL. Pendirian KiSS juga tidak luput dari adanya bantuan bidan Rita Rahmawati selaku penanggungjawab terapi wicara Klinik Sehati, dan tim celah bibir dan langit-langit mulut Rumah Sakit Harapan Kita.


Dengan berbekal kesamaan nasib, Diah sekaligus ibu dari anak penderita CBL menegaskan bahwa, pendirian komunitas CBL hadir untuk memberikan segala informasi terkait pencegahan CBL dari usia nol bulan hingga 18 tahun. “Karena anak kami terlahir dengan CBL, maka perlu saling memberi dukungan sesama orang tua dengan anak penderita CBL lainnya,” ujar Diah, Rabu (23/2).


Menurut Dwi yang merupakan ibu dari anak penderita CBL juga menuturkan, bahwa sebelum pandemi menyebar, komunitas ini berkomitmen untuk mengadakan pelbagai acara secara luring. Namun inisiasi itu hanya diberlakukan untuk lingkup daerah Jakarta. “Dalam setahun program yang telah terlaksana adalah berupa talk show, gathering, piknik bareng, seminar, dan masih banyak lainnya,” pungkas Dwi, Kamis (24/2).


Dwi juga menceritakan perjalanan anaknya dalam menghadapi kasus CBL berupa median cleft yang diduga dari penampilannya terbilang ringan, karena dari celah bibirnya hanya terlihat seperti huruf “V” terbalik. Namun, setelah dibawa perawatan ke dokter bedah, kasus yang demikian termasuk kasus langka yang sering kali ada penyertanya. “Untuk kasus anak saya, penyertanya baru ketahuan setelah umur 16 bulan. penyertanya adalah adanya meningoencephalocele atau adanya selaput otak yang turun ke lubang hidung,” tegas Dwi, Kamis (24/2).


Dwi pun melanjutkan, di umur 18 bulan, anaknya yang seharusnya sudah bisa di operasi— langit-langit bibirnya—terlebih dulu harus operasi kraniotomi—cangkok tulang untuk menutup lubang yang ada di antara tulang hidung dan dahi—hal itu dilakukan agar selaput otak tidak tambah turun. Setelah melewati empat kali operasi—di umur 13 tahun, saat ini anaknya sudah sehat dan mempunyai kualitas hidup yang tidak kalah dengan teman-teman sebayanya yang tidak terlahir CBL.


Komunitas Satu Senyum (KiSS) cukup banyak menjalin kerja sama dengan instansi kesehatan, pemerintah, yayasan, dan organisasi regional, nasional, serta internasional untuk melaksanakan kegiatan penyadartahuan dan bakti sosial  peduli CBL. Selain itu terdapat juga program operasi secara gratis untuk penderita CBL. Kegiatan tersebut tentunya sangat membantu untuk individu yang terlahir dengan CBL dari kalangan kurang mampu. Perawatan yang ideal untuk anak CBL bukan hanya operasi CBL saja. Namun, perawatan yang krusial selain operasi adalah terapi wicara.


Dwi menjelaskan bahwa anak dengan langit-langit yang celah, idealnya satu bulan setelah operasi harus ikut terapi wicara, agar sistem suaranya bisa berfungsi secara optimal. Namun, keberadaan terapi wicara belum tersebar rata di seluruh Indonesia. Banyak tempat yang membutuhkan terapi wicara, namun jumlah terapinya sangat terbatas. “Itu yang sering membuat kami para pengurus komunitas patah hati,” tegas Dwi, Kamis (24/2).


Dwi menaruh harapan besar kepada Komunitas Satu Senyum (KiSS) untuk mengayomi dan berbagi pengalaman kepada individu yang terlahir dengan CBL. Para pakar CBL dan tuna wicara pun dihadirkan sebagai pemandu dalam melakukan perawatan CBL dengan tepat, sehingga dapat memberikan dukungan khusus bagi para individu yang terlahir dengan CBL, untuk menjadi manusia yang tangguh dan bisa mencintai dirinya sendiri. 


“Harapan kedepannya, Komunitas Satu Senyum ini bisa lebih banyak memberikan edukasi kepada para individu dan orang tua dengan anak penderita CBL,” pungkas Dwi diakhir wawancara, Kamis (24/2).

Reporter: Nadiyya Dinar Ambarwati

Editor: Anggita Raissa Amini


About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Bank Sampah Teratai Aksi Kepedulian Previous post Bank Sampah Teratai Aksi Kepedulian
Pro Kontra KKN di Tengah Pandemi Next post Pro Kontra KKN di Tengah Pandemi