Dukungan Mental untuk Penyandang Down Syndrome

Dukungan Mental untuk Penyandang Down Syndrome

Read Time:2 Minute, 54 Second
Dukungan Mental untuk Penyandang Down Syndrome

Alih-alih memberikan dukungan penuh bagi penyandang DS, POTADS memberikan ruang untuk mengedukasi penyandang DS melalui berbagai kegiatan. Mulai dari melukis, menari, hingga memberikan kesempatan berinteraksi dengan tamu dari luar. 


Komunitas Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) merupakan komunitas yang berfokus pada kegiatan mengedukasi mental orang tua dan anak penyandang Down Syndrom (DS). Komunitas ini berlokasi di Ragunan, Jakarta Selatan dan memiliki cabang di Padang, Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan dan beberapa kota lainnya. 

Komunitas ini didirikan oleh Nuni Fadhillah, Elya Gustiani, dan Aryati pada 28 Juli 2003. Tujuan mendirikan komunitas ini sebagai bentuk dukungan mental terhadap orang tua dan anak-anak penyandang DS.  

Dilansir dari potads.or.id, beberapa program komunitas ini, di antaranya mendirikan Pusat Informasi dan Kegiatan (PIK) dan menyelenggarakan pertemuan para orang tua anak DS. Selain itu, memberdayakan orang tua anak DS agar selalu bersemangat dalam mengawal tumbuh kembang anaknya. 

Ketua Umum Yayasan POTADS Eliza Octavianti Rogi menerangkan, lambang yang digunakan POTADS adalah simbol dari lambang kromosom. Pasalnya, lambang itu menggambarkan anak DS yang memiliki pembelahan kromosom berlebihan. “Itu alasan mengapa kita lebih memilih lambang kromosom,” terangnya, Sabtu (9/12). 

Eliza mengungkapkan, ia bersama timnya seringkali melakukan pertemuan kopdar—kumpul-kumpul sesama anggota, mulai dari seminar, workshop, hingga membuat konten Youtube. Kegiatan bersama anak-anak penyandang DS biasanya melukis, menari, dan memberikan kesempatan kepada tamu yang berkunjung untuk ikut bermain bersama mereka. “Contoh konten Youtube yang pernah kita buat itu tutorial memijat anak dengan baik,” ungkapnya. 

Lanjut, Eliza menuturkan, untuk menjadi anggota POTADS tidak memiliki syarat khusus, cukup mendaftarkan anaknya yang menyandang DS secara gratis melalui e-mail maupun media sosial. POTADS juga memiliki kelas belajar—Rumah Ceria Down Syndrome (RCDS), persyaratan untuk bergabung di kelas ini minimal berusia 10 tahun. “Kami mengadakan uji coba terlebih dahulu untuk melihat apakah anak ini suka atau tidak dengan kelasnya,” tuturnya. 

POTADS menerima seluruh anak penyandang DS tanpa memandang latar belakangnya. Penyandang DS mempunyai kesempatan bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), homeschooling—sekolah dibimbing orang tua, dan inklusi—sekolah reguler yang terbuka untuk anak berkebutuhan khusus (Abk). “Orang tua yang memiliki anak penyandang DS berbeda-beda jangka waktu bangkit dari keterpurukannya. Ada yang sebentar bahkan tidak menerima anaknya sama sekali dan disitu tugas kami untuk memberi semangat kepada orang tua,” jelas Eliza. 

Salah satu anggota POTADS, Tutut mengatakan, ia mendaftarkan salah satu anaknya di POTADS, sehingga ia pun mempunyai motivasi untuk ikut serta dalam komunitas tersebut. “Saya berharap anak saya dapat berkembang dengan teman-temannya,” katanya, Sabtu (9/12). 

Tutut menambahkan, ia pertama kali mengetahui komunitas ini dari tempat terapi anaknya yang saat itu menghadirkan Kopdar. Kala itu, ia mendaftarkan anaknya sejak berusia 8 tahun hingga saat ini usianya 12 tahun. “Sejak saya bergabung di POTADS tidak merasakan kendala apapun, karena kita semua keluarga,” tambahnya. 

Anggota POTADS lainnya, Nisa menyebutkan, ia memilih bergabung di komunitas ini untuk mengetahui perkembangan anak penyandang DS. Ia mengaku, bergabung di POTADS sejak tahun 2019 silam. “Meskipun rumah saya di Bekasi,  tapi saya memiliki niat untuk bergabung di POTADS,” ujarnya, Sabtu (9/12). 

Kendala yang ia alami selama bergabung di komunitas, ungkap Nisa, hanya soal jarak yang terbilang jauh dari rumahnya. Namun, ia mempunyai motivasi lebih untuk bisa memberikan dukungan kepada anaknya yang tergabung di POTADS tersebut. “Anak saya baru saja melakukan kelas djembe, dan saat ini anak saya sedang rehat sekolah, sebelumnya di inklusi, mungkin akan saya kembalikan ke SLB,” pungkasnya. 

Reporter: HUC

Editor: Shintia Rahayu Safitri

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
39 Tahun Berdiri, LPM Institut Selalu Berdedikasi Previous post 39 Tahun Berdiri, LPM Institut Selalu Berdedikasi
Multitafsir UU ITE Bungkam Hak Bersuara Next post Multitafsir UU ITE Bungkam Hak Bersuara