Pada 2020 lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah melakukan survei pada 79 kampus di 29 kota Indonesia terkait Kekerasan Seksual (KS) di lingkungan perguruan tinggi. Survei menemukan data, sebanyak 77 persen dosen mengaku bahwa KS pernah terjadi di kampusnya. Sementara, 63 persen kasus KS tidak pernah dilaporkan dengan alasan menjaga nama baik kampus. Jumlah perempuan yang menjadi korban KS di lingkungan kampus mencapai 90 persen, sementara sisanya adalah laki-laki.
Regulasi mengenai pencegahan dan penanggulangan KS di lingkungan kampus telah ditetapkan melalui Peraturan Kemendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021.
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) sebenarnya sudah lebih dulu memiliki kesempatan untuk mengesahkan regulasi mengenai KS. Pada tahun 2019, Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan Surat Keputusan (SK) DIrektoral Jendral (Dirjen) Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 yang berisi tentang pencegahan dan penanggulangan KS di PTIN.
Hingga saat ini UIN Jakarta belum meratifikasi kedua regulasi tersebut. Meski demikian, Institut mendapat kabar bila UIN Jakarta tengah menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) KS. Hal ini berdasarkan SK Rektor Nomor 118 Tahun 2021 Tentang Tim Penyusun SK Rektor dan SOP Pedoman Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus UIN Jakarta. SK tersebut terbentuk pada 16 November 2021.
Tertulis dalam SK Rektor tersebut, Tim Khusus (Timsus) terdiri dari sebelas orang, dan diketuai oleh Afwan Faizin. Berdasarkan penelusuran Institut, latar belakang individu Timsus pun beragam: dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Pusat Hukum (PUSKUM), hingga Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta.
Tugas dari tim penyusun SOP KS adalah; membahas, menyusun, dan menyempurnakan SK Rektor dan SOP pencegahan KS di kampus, tugas kedua yaitu melaporkan hasil kegiatan kepada rektor.
Pada 4 Maret lalu, Institut menghubungi ketua Timsus Afwan Faizin. Kepada Institut Afwan mengatakan masa tugas Timsus telah usai pada 31 Desember 2021 lalu. Afwan juga menambahkan bahwa draf dari SOP dan SK KS telah diserahkan ke rektor.
Di tanggal yang sama Institut kembali memastikan kabar tersebut kepada ketua PSGA UIN Jakarta, Ulfa Fajarini. Hal senada disampaikan oleh Ulfa mengenai sudah diserahkannya draf SOP dan SK Rektor terkait pencegahan dan penanganan KS di UIN Jakarta.
Untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut mengenai SOP dan SK KS tersebut, pada 20 April lalu Institut berkesempatan melakukan wawancara khusus bersama rektor UIN Jakarta, Amany Burhanuddin Umar Lubis.
Bagaimana perkembangan dari kelanjutan SOP dan SK pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual di UIN Jakarta?
Seperti yang sudah Anda sampaikan bahwa masa tugas Timsus sudah selesai. Draf SOP dan SKnya sudah saya terima 21 Desember tahun lalu, setelah itu saya mengadakan rapat terbatas dengan para Wakil Rektor (Warek) dan Kepala Biro yang ahli di bidang hukum dan bidang administrasi kepegawaian. Dalam rapat terbatas tersebut terdapat beberapa koreksi dan revisi dari draf yang sudah diserahkan Timsus. Selanjutnya draf tersebut sudah saya kembalikan lagi. Hingga saat ini saya belum menerima hasil final dari draf tersebut.
Apa yang melatarbelakangi dibuatnya SOP dan SK Rektor mengenai pencegahan dan penanganan KS?
Secara umum, SOP diperlukan ketika Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengharuskan setiap Perguruan Tinggi menerbitkan peraturan dan unit penanganan korban KS. Selain itu, tentu kita peduli terhadap pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Jangan sampai di UIN Jakarta ada kekerasan seksual.
Selain SOP dan SK Rektor mengenai pencegahan dan penanganan KS, adakah mekanisme lain yang dapat dijadikan acuan dalam menangani permasalahan KS di kampus UIN Jakarta?
Terdapat mekanisme lain yang bisa dijadikan pegangan terkait penanganan korban KS, seperti kode etik mahasiswa, kode etik dosen, kepegawaian, hingga kode etik lembaga. Dalam kode etik tersebut tentu tidak mentolerir adanya kekerasan dan pelecehan seksual, sehingga jika ada pengaduan mengenai KS melalui kode etik, maka hal tersebut bisa langsung ditangani.
Selain itu UIN Jakarta turut aktif dalam meramaikan kesadaran mengenai pentingnya masalah KS melalui beberapa webinar yang sudah diselenggarakan oleh beberapa lembaga di UIN Jakarta. Saya pribadi dan sebagian dosen-dosen FSH juga cukup mengikuti perkembangan dari Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang sekarang sudah disahkan.
Berdasarkan temuan Institut yang juga sudah kami beritakan, terdapat pelecehan dan kekerasan seksual di UIN Jakarta. Bagaimana Ibu rektor menanggapi hal itu?
Tidak bisa dipungkiri memang ada penelitian dosen yang mengatakan bahwa di lingkungan UIN Jakarta ada beberapa kasus pelecehan seksual. Kalau dilaporkan hanya sampai dekan, biasanya kasus yang diselesaikan di tingkat dekanat tidak perlu menggunakan SOP atau SK Rektor mengenai KS, tetapi bukan berarti kampus tidak peduli dengan persoalan KS. Namun yang saya dengar, banyak kasus KS yang sudah diselesaikan di tingkat Fakultas.
Harapan saya di UIN Jakarta jangan sampai ada kekerasan seksual. Dosen, mahasiswa, dan siapapun itu harus sadar untuk mengendalikan diri dan tidak boleh melecehkan apalagi melakukan kekerasan.
Berdasarkan penelusuran terbaru Institut, pada 26 April lalu, hasil naskah revisi SOP KS sudah berada di tangan bagian Kepegawaian Rektorat.
Reporter: Firda Amalia Putri
Editor: Haya Nadhira
Average Rating