PSK Terimpit Patriarki dan Ketidakpastian Hukum

PSK Terimpit Patriarki dan Ketidakpastian Hukum

Read Time:3 Minute, 21 Second

 

PSK Terimpit Patriarki dan Ketidakpastian Hukum


Menjadi PSK bukan hal mudah. Budaya patriarki ditambah ketidakpastian hukum, membuat PSK mendapat kekerasan.

Santi—bukan nama sebenarnya, memiliki keluarga beranggotakan tiga anak dan seorang suami yang bekerja sebagai sopir barang antar provinsi. Waktu itu, sang anak bungsu berumur sembilan bulan, tetiba suaminya meninggalkan Santi tanpa alasan yang jelas. 

Sepeninggal suami sebagai tulang punggung keluarga berimpak pada perekonomian hidup Santi. Perempuan tiga anak ini  tidak memiliki keluarga di Jakarta yang dapat membantunya. Berbagai pekerjaan sudah ia coba, salah satunya yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT).  Tetapi, pekerjaan tersebut belum memenuhi biaya untuk keperluan sehari-hari.

Kemudian, ada seorang teman yang menawarkan Santi untuk terjun ke dunia hiburan malam sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), di salah satu tempat di Jakarta Timur. Awalnya Santi menolak. Ia tak tega meninggalkan ketiga anaknya saat larut malam. Akhirnya pada tahun 2015, Santi terpaksa menggeluti pekerjaan tersebut lantaran tuntutan ekonomi yang dialaminya. 

Tujuh tahun Santi bekerja sebagai  PSK. Dirinya kerap dipandang negatif oleh keluarga maupun tetangganya. Anak pertama Santi tidak terima dan malu kalau ibunya jadi pekerja seks. “Tapi  mau bagaimana lagi, antara pemasukan dengan kebutuhan tidak berbanding lurus,” ujar Santi, Jumat (15/4). 

Sejak menjadi PSK, Santi mampu membiayai kebutuhan keluarganya dengan mudah. Tidak perlu mencari pekerjaan sampingan. Dampak dari pekerjaan Santi adalah anak-anaknya sering diejek oleh teman-temannya. “Saya sedih kalau anak saya dirundung oleh teman-temannya,” ungkap Santi, Jumat (15/4).

Berbagai jenis orang Santi temui ketika memakai jasa PSK. Ia mengatakan kerap mengalami kekerasan dari pelanggannya. Mulai dari dilempari botol minuman keras hingga kekerasan berbentuk verbal. Perkataan buruk dan tak pantas pun dilontarkan kepada Santi. 

“Bangsat”, 

“Anjing”, 

“Jablay,” 

Kata-kata tersebut, akan keluar dari mulut pelanggan jika pelayanannya dianggap kurang memuaskan. Namun dirinya menganggap hal tersebut sudah lumrah dan menjadi bagian dari risiko pekerjaan.

Santi berharap bisa diperlakukan setara  layaknya masyarakat biasa walaupun pekerjaannya yang tidak biasa. Ia berkeinginan agar pemerintah mampu melindungi dirinya beserta rekan PSK lainnya di bawah payung hukum agar tidak mengalami tindak kriminal.

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Olin Monteiro mengatakan bahwa industri yang memperniagakan PSK seperti melalui mucikari adalah usaha yang termasuk tindak kriminal oleh hukum negara Indonesia Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Beberapa daerah sudah membuat regulasi yang mengatur soal prostitusi. Sayangnya, ucap Olin,  jika individu yang memiliki niat untuk menjadi PSK, maka tidak bisa ditindak pidana karena tidak ada pasal atau hukum terkait PSK individu.

Olin mengungkapkan perempuan lebih banyak menjadi PSK karena faktor budaya patriarki di Indonesia yang masih merajalela. Perempuan sering menjadi objektifikasi seks dari laki-laki sejak zaman dahulu. Ia menambahkan budaya patriarki yang maskulin juga menetapkan seksualitas itu agresif dan dekat dengan laki-laki saja, sedangkan perempuan lebih bersifat submisif. Yang kemudian, berimbas terbentuknya pola pikir masyarakat yang memandang seksualitas juga harus dikuasai oleh laki-laki.

Padahal, ucap Olin,  hak seksualitas dan hak reproduksi harus diketahui setara antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut, ungkapnya, diperparah dengan industri pekerja seks yang lebih banyak mempromosikan perempuan PSK karena banyaknya permintaan dari pelanggan reguler.

Olin mengatakan, ketika PSK mengalami tindak kekerasan, masyarakat kerap membiarkan hal tersebut terjadi karena stigma masyarakat terhadap  PSK selalu negatif dan dipandang sebelah mata. Padahal, individu yang menjadi PSK memiliki alasan tertentu mengapa memilih pekerjaan tersebut. “Komnas HAM dan Komnas Perempuan perlu membuat kebijakan terkait perlindungan kelompok marjinal. Jika tidak ada peraturan, maka kelompok tersebut akan kesulitan secara berkelanjutan,” tegas Olin, Senin (23/5).

Ia menambahkan edukasi masyarakat terhadap kelompok pekerja seks juga penting. Dengan adanya edukasi, stigma buruk terhadap pekerja seks diharapkan bisa berkurang. Selain itu, kelompok tersebut merupakan manusia dan bagian dari masyarakat di suatu negara yang HAM nya perlu dilindungi. 

Upaya yang dapat dilakukan dalam perspektif  HAM, menurut Olin, adalah kampanye dan diskusi terkait perlindungan kelompok minoritas antar lembaga HAM; pendampingan yang berkelanjutan dengan memberikan program-program yang memajukan kelompok tersebut; serta Pemerintah perlu membuat peraturan Undang-undang Tentang Perlindungan dan Kesejahteraan Kelompok Marjinal, agar adanya kepastian perlindungan. 

Reporter: Aisyah Fitriani Arief, Ken Devina

Editor: Syifa Nur Layla

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Tren Karier Generasi Gen Z Previous post Tren Karier Generasi Gen Z
Meniti Jalan Karier untuk Masa Depan Next post Meniti Jalan Karier untuk Masa Depan