Pulau Reklamasi menjadi persoalan lama di pesisir Jakarta Utara. Sejak adanya pulau tersebut, hidup para nelayan sekitar dibuat terombang-ambing.
Zainal, seorang nelayan di Muara Angke mengatakan kebijakan Ahok yang membangun Pulau Reklamasi di tahun 2014 menuai perhatian para nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara. Pasalnya, Pulau Reklamasi membawa dampak negatif terhadap ekosistem pantai dan hasil tangkap para nelayan. Adanya pembangunan Pulau Reklamasi, ucapnya, meresahkan para nelayan sehingga melayangkan aksi penolakan pada 2017.
Agus, seorang nelayan yang telah bekerja selama tiga tahun mengatakan pembangunan Pulau Reklamasi sempat terhenti karena aksi penolakan yang dilakukan oleh para nelayan pada 2017. Ia menambahkan karena sudah terlanjur dibangun pemerintah, akhirnya pembangunan Pulau Reklamasi kembali dilanjutkan. “Pemerintah mengiming-imingkan akan ditutup pembangunan Pulau Reklamasi. Namun ternyata, hanya ditutup sementara,” ucap Agus, Minggu (23/10).
Laut yang diuruk, ujar Agus, untuk menjadi perumahan membuat ikan otomatis berpindah. Ia menambahkan, rusaknya ekosistem ikan, adanya limbah, dan rusaknya karang laut menjadi penyebab ikan berpindah jauh.
Agus dan para nelayan di Muara Angke akhirnya mencari ikan ke tengah-tengah pulau lantaran ikan yang berpindah jalur. Bahkan para nelayan, ujar Agus, harus menambah bahan bakar minyak (BBM) solar 70–100 liter.
Agus mengkritik pemerintah karena kinerjanya yang tidak memuaskan. “Kalau masih mau diakui oleh rakyat, terjun lah ke lapangan hingga ke pelosok-pelosok Indonesia,” tegas Agus, Minggu (23/10).
Salah satu nelayan Muara Angke, Oki mengatakan Pulau Reklamasi juga membahayakan keselamatan para nelayan. Ia menambahkan, tiga kapal kecil pernah tenggelam karena terlalu mepet terbentur batu. Selain itu, Oki dan para nelayan lain harus berlayar ke berbagai pulau untuk mendapatkan ikan. “Kami harus pergi jauh ke Pulau Karawang, Pantai Marunda, Pulau Seribu, Pulau Untung Jawa, Pulau Bidadari, dan Pulau Putri,” tutur Oki, Minggu (23/10).
Di sisi lain, Asep terpaksa berhenti dari pekerjaannya dan beralih menjadi pemulung. Padahal, dirinya telah mengemban pekerjaan tersebut selama delapan tahun lamanya. “Selain risiko yang besar, seperti terjebak badai, penghasilannya juga tidak sesuai dengan kebutuhan keluarga,” ujar Asep, Minggu (23/10).
Asep berharap agar pemerintah tidak berdiam diri di kantor dan turut melihat langsung keadaan rakyatnya. Asep melanjutkan, pemerintah harus ikut serta dan tidak hanya menyuruh bawahan yang sekadar menyerahkan laporan.
Reporter: PA
Editor: Aisyah Fitriani Arief
Average Rating