Kondisi anak muda saat ini di tengah pusaran ketidakadilan sosial. Melalui diskusi ini, SJI berupaya memajukan politik progresif untuk menggerakan keadilan sosial.
Social Justice Indonesia (SJI) mengadakan kegiatan Gelar Wicara dan Launching Event di Kios Ojo Keos Bona Indah Plaza, Jakarta Selatan pada Sabtu (18/11). Kegiatan tersebut mengusung tema “Orang Muda dalam Pusaran Ketidakadilan Sosial: Kita Harus Apa?”.
Kegiatan tersebut menghadirkan pembicara dari kalangan politisi. Di antaranya Bivitri Susanti—Pakar Hukum Tata Negara, Elza Yulianti—Calon Legislatif dari Partai Buruh, Delpedro Marhaen—Juru Bicara Blok Politik Pelajar dan Pradnya Wicaksana—Periset SJI.
Rangkaian kegiatan terdiri dari konferensi pers, penampilan stand up comedy, diskusi dan ditutup dengan penampilan musik. Kegiatan ini juga dihadiri oleh empat puluh empat orang peserta diskusi.
Bivitri Susanti mengungkapkan biaya politik di Indonesia mahal, sehingga saat ini anak muda hanya menjadi objektivitas di kalangan politisi. Menurutnya, politik progresif adalah sikap untuk menciptakan kesetaraan yang lebih besar secara politik, ekonomi dan sosial untuk mengubah objektivitas anak muda. “Anak muda saat ini tidak pernah ditanya keinginannya seperti apa, hanya diperintahkan untuk terus tunduk terhadap sistem hukum yang ada,” jelasnya, Sabtu (18/11).
Lanjut, Bivitri menyebutkan seorang Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) bisa ikut aktif dalam dunia politik. Setiap warga negara mempunyai Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga kita harus memandang manusia tanpa melihat gendernya.
Menurut Bivitri, kita perlu memberikan ruang kepada LGBT dengan tidak memandang mereka sebagai sesuatu yang berbeda. “Kita bisa memandang manusia itu seperti hangman—manusia lidi yang tidak ada jenisnya,” lanjutnya saat memberikan jawaban dari pertanyaan salah satu peserta diskusi.
Elza Yulianti menegaskan, mendaftarkan diri menjadi Calon Legislatif (Caleg) tidak mudah. Setiap Caleg perlu memiliki struktur 38 provinsi di Indonesia, 75% kantor kesekretariatan di kabupaten kota. Selanjutnya, memiliki kantor sekretariat di tingkat kecamatan sebanyak 50% dari jumlah kecamatan.
Maka, lanjut Elza, suara anak muda dalam menentukan pemimpin negara harus dipertimbangkan dalam berbagai aspek agar tidak salah memilih. “Saya menekankan anak muda bisa lebih kritis menentukan pilihannya agar setiap partai yang mencalonkan menjadi caleg tidak sia-sia perjuangannya,” ucapnya, Sabtu (18/11).
Pradnya Wicaksana menilai, kondisi di Indonesia saat ini dihadapkan dengan budaya depolitisasi—budaya pemahaman politik dicabut dari masyarakat. Sekalipun pemimpin kita saat ini bukan Soeharto, namun budaya orde baru masih digunakan pada zaman sekarang. “Masyarakat diperintahkan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) setiap lima tahun sekali, padahal tidak mengerti perbedaan ideologi setiap partai,” ujarnya, Sabtu (18/11).
Saat ini, tambah Pradnya, kampus di rancang birokrasi yang tidak ramah terhadap pemikiran kritis. Menurutnya, banyak mahasiswa yang semangat progresifnya terkikis dan terlanjur termakan usia untuk fokus bekerja.
Bahkan, Pradya menuturkan, sekarang kampus tidak hanya mengikuti birokrasi zaman orde baru. Namun masuk ke dalam kampus korporat—entitas atau badan hukum yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan bisnis atau komersial. “Jika risetnya tidak masuk dunia industri, maka tidak akan mendapatkan dana dari kampus,” tuturnya.
Delpedro Marhaen menyebutkan, politik kewargaan mendiskusikan kehidupan keluarga sehari-hari, sehingga muncul ketidakadilan ekonomi dengan solusi redistribusi. Lalu, muncul juga ketidakadilan biaya dengan solusi pengakuan atau cara pandang masyarakat dan ketidakadilan misrepresentasi—salah satu kelompok yang tidak diikutsertakan.
Delpedro menambahkan, salah satu kunci politik kewargaan adalah sebuah kritik. “Seringkali kita menyampaikan gagasan terkait salah satu isu, tapi pembahasan isu tersebut tidak berkaitan dengan anak muda saat ini,” ujarnya, Sabtu (18/11).
Salah satu peserta diskusi, Kana merasa tertarik mengikuti kegiatan tersebut. Bagi Kana, melalui kegiatan ini membuatnya mendapatkan pemahaman mengenai pejuang keadilan sosial. “Sering kali saya melihat anak muda memanfaatkan media sosial membicarakan keadilan sosial,” ungkapnya, Sabtu (18/11).
Kana mengaku tidak mengetahui terkait siapa saja yang menjadi wakil Daerah Pemilihan (Dapil) dari wilayahnya. Namun, saat mendengarkan pengakuan dari Elza bisa mendapatkan pemahaman baru mengenai dunia perpolitikan khususnya perjuangan partai dalam mencalonkan diri menjadi DPR RI. “Sejujurnya saya tidak mengetahui siapa perwakilan Dapil wilayah saya,” pungkasnya.
Reporter: HUC
Editor: Shintia Rahayu Safitri