Oleh: Rizka Id’ha Nuraini*
Pada tahun 2023, kasus pelecehan seksual kembali terjadi di salah satu kampus di Indonesia, yakni Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Seorang mahasiswi melaporkan bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual oleh salah satu rekan mahasiswa. Dalam pengakuannya, korban menyatakan bahwa pelaku melakukan tindakan tersebut dengan alasan “hanya bercanda” dan mengancam akan melaporkan balik ketika korban melapor kepada Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unesa. Melansir dari Jatimtimes.com.
Kasus tersebut menambah daftar insiden pelecehan seksual di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar dan berkembang. Kasus di Unesa merupakan satu dari banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Banyak kampus yang masih menghadapi masalah serupa, yang mana mahasiswa menjadi korban kekerasan seksual oleh rekan, dosen, maupun staf kampus. Sering kali korban enggan melaporkan kejadian tersebut karena takut akan stigma sosial, intimidasi dari pelaku, atau kurangnya dukungan dari pihak kampus.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Regulasi ini mengatur standar operasional prosedur (SOP) dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus dan mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk menyusun aturan internal yang komprehensif.
Beberapa poin penting dari Permendikbud itu termasuk kewajiban kampus menyediakan layanan konseling bagi korban, mengadakan sosialisasi dan edukasi tentang kekerasan seksual, serta membentuk satuan tugas khusus yang bertugas menangani laporan kekerasan seksual. Implementasi regulasi ini diharapkan dapat mengurangi kasus-kasus kekerasan seksual di kampus, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban.
Permendikbud tersebut merupakan langkah maju yang sangat penting. Namun, regulasi saja tidak cukup tanpa adanya edukasi yang memadai. Edukasi seks di kampus sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Edukasi ini tidak hanya tentang pengetahuan biologis mengenai seksualitas, tetapi juga mencakup pemahaman tentang consent (persetujuan), batasan pribadi, dan hubungan yang sehat serta saling menghormati. Mahasiswa perlu dibekali informasi yang benar mengenai hak mereka atas tubuhnya sendiri dan pentingnya menghormati hak orang lain.
Melansir dari kompas.com, pada 2 Februari 2020 lalu, seorang mahasiswi Universitas Indonesia (UI) mengalami pelecehan seksual di area kampus. Korban melaporkan bahwa segerombolan pria tak dikenal menyentuh dan berbicara tak senonoh kepada dirinya. Meskipun korban segera mencari perlindungan dengan melapor ke pos Pengamanan Lingkungan Kampus (PLK) UI, respons yang diberikan dianggap kurang memadai dan mereka tidak segera menindaklanjuti kejadian tersebut. PLK UI dengan mudahnya melepas pelaku tanpa meminta identitasnya dan malah menyalahkan korban untuk tidak berjalan sendirian lagi.
Kurangnya pemahaman mengenai consent sering kali menjadi akar masalah dari banyaknya kasus kekerasan seksual di kampus. Edukasi seks yang menyeluruh dapat membekali mahasiswa dengan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Pendidikan ini harus dimulai dari pemahaman dasar mengenai tubuh manusia, fungsi seksual, serta kesehatan reproduksi. Lebih jauh lagi, edukasi seks harus mencakup diskusi yang jujur dan terbuka tentang consent.
Di samping itu, kampus harus menyediakan platform yang aman dan terpercaya bagi korban kekerasan seksual untuk melapor. Sistem pelaporan yang ramah korban sangat penting agar mereka merasa didengar dan diperlakukan dengan hormat. Kampus harus menyediakan sistem pelaporan yang jelas dan transparan, sehingga korban tahu langkah-langkah yang harus diambil dan proses yang akan dijalani setelah melaporkan kejadian.
Salah satu elemen penting dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi adalah pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Satgas PPKS harus siap menerima dan menangani laporan dari korban kekerasan seksual dengan cara yang profesional dan empatik. Mereka harus memastikan bahwa proses pelaporan berjalan lancar dan korban mendapatkan perlindungan serta dukungan yang diperlukan. Sayangnya, belum semua kampus merealisasikan regulasi yang sangat penting ini.
Menerapkan edukasi seks di lingkungan kampus juga dapat membantu mencegah terjadinya stereotip gender yang merugikan. Misalnya, anggapan bahwa pria selalu menginginkan seks atau bahwa perempuan yang berpakaian tertentu “mengundang” pelecehan adalah mitos berbahaya yang harus diberantas melalui pendidikan. Dengan memberikan pemahaman yang benar dan tidak bias, mahasiswa dapat belajar untuk saling menghormati dan menghindari perilaku diskriminatif atau kekerasan.
Tantangan dalam mengimplementasikan edukasi seks di kampus memang tidak sedikit. Budaya patriarki yang masih kental, norma sosial yang menganggap seks sebagai topik tabu, serta resistensi dari berbagai pihak menjadi hambatan yang harus dihadapi. Namun, dengan komitmen yang kuat dari pihak universitas dan dukungan dari pemerintah, tantangan-tantangan ini dapat diatasi.
Menurut penulis, edukasi seks di wilayah kampus merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa diabaikan lagi. Regulasi seperti Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memang penting sebagai payung hukum, tetapi edukasi yang menyeluruh dan efektif adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Dengan memberikan pemahaman yang benar mengenai seks, consent, dan hubungan yang sehat, kita dapat menciptakan generasi yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap hak dan martabat setiap individu.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta