Mahasiswa mempertanyakan proses seleksi SAA. Peningkatan kuota dan anggaran apresiasi turut disorot.
Sebanyak 619 mahasiswa menghadiri undangan sebagai penerima Student Achievement Award (SAA) di Auditorium Harun Nasution Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (31/10). Sebelumnya, Surat Keputusan Rektor No. 1426 tahun 2024 tentang Mahasiswa Penerima SAA telah diunggah melalui akun Instagram @forumukmuinjkt dan @kmhs_uinjkt.
Jumlah mahasiswa yang menjadi penerima SAA mengalami peningkatan dari yang semula hanya 398 pada 2023. Hal itu dikonfirmasi oleh ketua pelaksana SAA, Muhammad Naufal Waliyyuddin. Ia menuturkan, peningkatan jumlah penerima SAA terjadi karena kampus memberikan kuota lebih banyak. Selain itu, jumlah uang apresiasi mahasiswa juga bertambah dibanding tahun lalu.
Mengonfirmasi hal itu pula, Ketua Tim Kemahasiswaan dan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Furqon menuturkan, jumlah penerima SAA per tahun ditentukan berdasarkan anggaran. “Bergantung dengan anggaran, tahun ini 500 juta, tahun lalu kalo gak salah 300 juta-an,” ungkap Furqon, Minggu (3/11).
Proses penyeleksian SAA dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, penyeleksian semua berkas oleh tim verifikator. Tim verifikator berisikan orang-orang yang sudah diseleksi oleh forum UKM dan bagian kemahasiswaan sehingga sudah kredibel. Selanjutnya, hasil seleksi diberikan dan diseleksi kedua kali oleh tim kemahasiswaan lalu dipresentasikan ke rektor maupun wakil rektor.
Pengumuman hasil SAA mendapatkan berbagai keluhan dari mahasiswa, salah satunya Rama—bukan nama sebenarnya, mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum yang tidak mendapat SAA. Ia mendapati dirinya tak masuk dalam daftar nama peserta lolos, sementara teman-temannya yang memasukkan sertifikat perlombaan sama masuk dalam daftar tersebut. “Bisa jadi ada dokumen yang kurang gua input atau gimana sih,” tulisnya melalui Whatsapp, Jumat (1/11).
Menanggapi hal tersebut, Naufal mengakui mendapat sejumlah protes mengenai hal yang sama. Setelah dicek ulang, tim verifikator menemukan perbedaan berkas yang diunggah. “Ternyata sertifikat yang diunggah emang di kita enggak ada kesalahan karena ketika dicek lagi di berkasnya, yang diupload dia dengan yang temannya upload itu berbeda. Jadi memang kesalahan dari berkasnya, karena tidak sesuai di pemberkasan.”
Selain itu, keluhan juga datang dari Andi—bukan nama sebenarnya, mahasiswa prodi Ilmu Hukum pula yang lolos SAA namun bukan ditempatkan di kategori yang ia daftarkan. Ia mendaftarkan diri pada kategori 2, tapi dirinya justru masuk kategori 4. “Mau protes tapi takut SAA-nya dicabut,” tulisnya melalui Whatsapp, Jum’at (1/11).
Naufal membenarkan adanya pemindahan mahasiswa yang mendaftar di kategori 2 menjadi kategori 4. Hal tersebut terjadi karena sertifikat pendaftar itu tidak memenuhi kriteria yang ada pada juknis di kategori 2 yaitu perlombaan nasional atau internasional. Akan tetapi berkas lain yang diunggahnya sudah sesuai, maka tim verifikator meloloskannya di kategori 4.
Institut juga menemukan sejumlah mahasiswa penerima SAA yang lebih dari semester 8, bahkan beberapa mahasiswa telah wisuda. Berdasarkan lampiran pengumuman yang dibagikan melalui Instagram, penerima SAA yang berasal dari semester 8 berjumlah 18 orang.
Naufal juga menjelaskan, pendaftar SAA dibatasi maksimal semester 8. Sementara itu, pendaftaran berlangsung pada periode Juli hingga September 2024. “Mereka masih bisa mendapat SAA walaupun bulan Agustus sudah diwisuda, itu masih keterima. karena di dalam aturannya yang dapat mendaftar adalah mahasiswa semester 1-8,” ujarnya, Jum’at (1/11).
Terdapat pula perbedaan antara lampiran pengumuman penerima SAA tahun 2023 dengan 2024. Mulai dari nama penerima SAA yang tidak diurutkan sesuai abjad seperti tahun lalu, penulisan nama yang berbeda-beda, ada yang capslock dan tidak, hingga file yang berbentuk pdf scan.
Naufal lanjut menerangkan, lampiran penerima SAA tahun ini diurutkan per kategori, lalu abjad fakultas, setelah itu baru abjad nama. Pihak panitia tidak mengubah data apapun dalam penamaan mahasiswa sehingga penamaan masih sesuai dengan apa yang mahasiswa isi. “File berbentuk pdf cetak (scan) agar tidak bisa dipalsukan, karena jika pdf biasa, bisa dipalsukan.” pungkasnya.
Reporter: PN
Editor: Shaumi Diah Chairani