
LPM Institut UIN Jakarta menggelar diskusi publik sekaligus peluncuran tabloid edisi ke-69 dengan sorotan tajam pada isu komersialisasi kampus. Bertajuk Mahasiswa di Mata Kampus: Civitas atau Komoditas?, acara ini menghadirkan berbagai perspektif kritis dalam mengungkap bagaimana mahasiswa kian diposisikan sebagai objek bisnis, bukan subjek pendidikan.
Pada Senin (30/6), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Diskusi Publik dan Launching Tabloid Institut Edisi ke-69. Acara yang berlangsung di Aula Student Center (SC) UIN Jakarta tersebut menghadirkan berbagai elemen, mulai dari mahasiswa umum, Senat Mahasiswa (Sema), Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Lembaga Otonom (LO), Lembaga Semi Otonom (LSO), jejaring pers mahasiswa, hingga Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta.
Dalam laporannya, Rahmadina Alfathiyah selaku Ketua Pelaksana Acara menerangkan, acara tersebut telah dipersiapkan selama kurang lebih satu bulan bersama dua belas calon anggota dan lima pengurus aktif. Selain mempersiapkan acara, mereka juga telah menyusun tabloid edisi ke-69 sebagai bentuk karya jurnalistik, yang memuat 28 halaman dan didukung oleh 14 media partner. Melalui tabloid tersebut, LPM Institut menyoroti bagaimana kampus menjadi ladang bisnis dan melakukan praktik komersial.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Ali Munhanif, turut menyampaikan sambutan dan membuka acara tersebut. Menurutnya, diskusi semacam itu patut dilestarikan demi menjaga nalar mahasiswa sebagai civitas kampus. Selanjutnya, ia secara resmi membuka acara tersebut dengan memotong pita dan menandatangani poster acara. Acara dilanjut dengan melakukan sesi foto bersama para panitia, tamu undangan, dan peserta.
Prosesi peluncuran tabloid dibuka dengan puisi bertajuk Apakah Suara Kami Didengar? yang dibawakan oleh salah satu calon anggota. Puisi tersebut mengangkat tentang bagaimana mahasiswa kerap tidak dilibatkan dalam membuat kebijakan yang bersangkutan dengan mereka, sekaligus mempersembahkan tabloid yang akan diluncurkan. Kemudian, Pemimpin Redaksi, Muhammad Arifin Ilham dan Pemimpin Umum LPM Institut, Mutya Sunduz Arizki meluncurkan tabloid edisi terbaru berjudul Mahasiswa, Civitas atau Komoditas?
Arifin menjelaskan bahwa tabloid itu bukan hanya sebagai bentuk kritik, namun juga ajakan untuk membangkitkan kesadaran pembaca sebagai civitas academica. Katanya, mahasiswa berhak atas ruang pendidikan yang adil, kritis, dan manusiawi. Mereka berhak bersuara, dan menolak saat nilai itu terdistorsi oleh kepentingan komersial. “Izinkan saya mengajak kita semua untuk merefleksikan dan mendiskusikan tabloid ini, karena sejatinya jurnalisme hadir bukan hanya untuk mencatat, tapi juga untuk menggugah (pikiran dan hati),” tegasnya, Senin (30/6).
Acara dilanjut dengan diskusi publik yang mengusung tema Mahasiswa di Mata Kampus: Civitas atau Komoditas? bersama salah satu calon anggota yang jadi pemandu. Diskusi tersebut menghadirkan Jejen Musfah, selaku Pengamat Pendidikan, Koordinator aksi #BenahinUIN, serta Aktivis Mahasiswa. Selain itu, Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Penelitian dan Pengembangan LPM Institut juga turut memberikan perspektif mereka dalam diskusi tersebut.
Moderator membuka sesi diskusi dengan sebuah pertanyaan, bagaimana kampus memandang mahasiswanya, sebagai civitas atau komoditas? Mengenai hal itu, Muhammad Zidan Ramdani selaku Koordinator Aksi #BenahinUIN mengungkapkan, aksi tersebut merupakan akibat gelombang iceberg, di mana setahun yang lalu saat adanya penetapan kenaikan UKT sebesar 50% oleh Kementerian Agama untuk mahasiswa angkatan 2024. Kemudian setelahnya muncul kebijakan-kebijakan baru yang juga dinilai merugikan mahasiswa.
Lalu, Aktivis Mahasiswa, Fatih Abiyyu berpendapat bahwa saat ini kampus memandang mahasiswa bukan hanya sebagai komoditas, namun juga pekerja kampus itu sendiri. Menurutnya, kampus lebih mengarah ke sektor industri, sehingga selalu ada batasan mahasiswa untuk berpikir kritis dan berekspresi. Biyyu menceritakan, bahkan pasca aksi #BenahinUIN hingga minggu lalu, pihak berwajib masih mencari teman-temannya yang terlibat dalam aksi tersebut.
Selanjutnya, Jejen Musfah, memberikan pandangannya tentang alasan mengapa mahasiswa dijadikan sebagai konsumen. Ia mengatakan bahwa kampus masih belum didesain untuk membentuk intelektual. Menurutnya, ketika kampus bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), sedangkan Rektor beserta jajarannya tidak punya kapasitas untuk membangkitkan perusahaan, maka opsi pemasukan kampus tersebut dibebankan kepada mahasiswa. “Termasuk naiknya UKT yang signifikan, maka komersialisasi itu nyata adanya,” ujarnya, Senin (30/6).
Diskusi berlangsung hingga akhir sesi dan ditutup dengan sesi foto bersama para narasumber, panitia, dan peserta. Setelah itu, acara dijeda selama 30 menit untuk istirahat, salat, dan makan (ishoma). Usai jeda, penampilan Band Pojok Seni Tarbiyah (Postar) turut memeriahkan suasana dengan membawakan tiga lagu. Sebagai penutup, acara dilanjut dengan prosesi pelantikan anggota LPM Institut generasi ke-40 secara khidmat.
Reporter: Naila Asyifa
Editor: Muhammad Arifin Ilham