
Judul: Angin Timur
Tahun Rilis: 2023
Genre: Dokumenter
Sutradara: Dandhy Laksono dan Yusuf Priambodo
Durasi: 1.41.52
Film “Angin Timur” merupakan film dokumenter karya empat jurnalis yaitu Dandhy Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo dan Benaya Harobu yang berkeliling Indonesia menggunakan sepeda motor demi menyoroti keindahan dan kerusakan alam. Film ini rilis pada 21 Juli 2023 di kanal Youtube Indonesia Baru yang didanai secara mandiri oleh Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru.
Film berdurasi 101 menit ini menyoroti kehidupan sehari-hari nelayan tradisional pesisir Jawa yang kurang sejahtera. Melansir dari maritimnews.com, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2017 menunjukkan, sebanyak 11,34% pekerja di sektor perikanan tergolong sebagai kelompok miskin. Sedangkan berdasarkan website indonesia.go.id, dua pertiga luas wilayah Indonesia terdiri dari perairan.
Dengan sumber daya alam yang melimpah, kondisi ekonomi nelayan Indonesia seharusnya jauh lebih baik daripada pekerjaan lain. Namun dalam film ini, realitas berkata lain. Nelayan merasa kesulitan menjalankan pekerjaannya karena beberapa permasalahan, diantaranya kenaikan harga solar, harga beli ikan yang naik-turun, serta proyek yang merusak alam.
Karimunjawa jadi salah satu contohnya. Pesisir pantai yang semula menjadi tempat anak ikan berkembang biak, kini tercemar akibat tambak udang yang membuang limbah ke arah pesisir pantai. Hal itu membuat pesisir pantai penuh dengan endapan lumpur dan jumlah tangkapan ikan semakin sedikit. Nelayan menjadi perlu mengambil ikan lebih jauh dari pesisir yang berpengaruh pula ke penggunaan solar.
Tingginya harga solar dan sulitnya mengakses solar bersubsidi dari pemerintah memicu masalah baru. Nelayan perlu mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli solar dari pengepul minyak. Tak jarang dari mereka memilih mencari pekerjaan tambahan untuk menutupi hasil tangkapan yang sedikit.
Lebih dari sekadar potret buram, film ini juga menyingkap adanya campur tangan politik oleh pemerintah. Seperti di kampung nelayan Pancer, desa nelayan yang sudah ditempati ratusan keluarga secara turun-temurun itu kini terancam penggusuran karena masuk dalam area izin usaha pertambangan oleh pemerintah. Seolah kampung nelayan Pancer hanya lahan kosong tanpa penghuni. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen pemerintah terhadap isu lingkungan dan nasib masyarakat kecil.
Meskipun menyajikan realitas yang pahit, “Angin Timur” tak sepenuhnya kehilangan harapan. Film ini mengajak penonton untuk turut mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti upaya restorasi, edukasi, dan perlawanan terhadap praktik ilegal yang merugikan lingkungan. Film ini menjadi secercah harapan bagi masyarakat yang terdampak untuk menumbuhkan keberanian menyuarakan hak atas upah yang layak sebagai nelayan dan hak atas tanah yang mereka huni.
Melalui metode pengambilan gambar yang cenderung Point of View—teknik yang membuat penonton seolah terlibat dalam suatu kondisi di dalam film—menciptakan kedekatan antara penonton dan suasana di dalamnya. Namun, beberapa rekaman menjadi kurang stabil dan kualitas gambarnya kurang jernih. Alur sederhana yang mengalir lambat juga membuat penonton sedikit bosan di seperempat awal film.
Meski begitu, pesan moral dalam film ini dapat tersampaikan dengan baik, yaitu tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Melalui dokumentasi usaha-usaha nelayan, film ini mengajak penonton merenungkan dampak dari setiap tindakan, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. Selain itu, film “Angin Timur” juga mengedepankan pentingnya kesadaran kolektif dan keberanian untuk melawan praktik-praktik merusak.
Di luar dari isi filmnya, karya-karya dokumenter yang dibuat Ekspedisi Indonesia Baru juga memantik pemuda Indonesia agar terus menghasilkan karya seni yang mengedepankan aspek budaya tradisional sembari menyusuri kekayaan alam. Pemuda Indonesia juga perlu menyadari isu-isu yang bersangkutan dengan masyarakat adat. Dengan begitu, hasilnya bukan hanya karya seni, tapi juga terjalinnya kedekatan emosional antar sesama.
Reporter: CSA
Editor: Muhammad Arifin Ilham