Read Time:2 Minute, 24 Second
“Yuhyi wa yumiit.” Hidup dan mati itu milik Allah, hukum alam hanya menjadi infrastruktur yang bisa membuat manusia mempertahankan hidupnya atau menemui kematiannya. Tetapi, hidup atau mati tetap menjadi otoritas Tuhan.
Itulah yang disampaikan oleh Achmad Mubarok saat membincang soal Hak Asasi Manusia (HAM) dalam acara Seminar Internasional, Islam and Human Right: Sayidina Ali’s Perspective. Dalam acara yang berlangsung pada Rabu (30/10) lalu, Achmad juga menyampaikan bahwasannya manusia diberi kewajiban tetapi juga diberi hak.
“Kewajibannya adalah ibadah dan hak manusia adalah yang melekat pada basyar (basyariah) dan ada yang bersifat penghargaan, ada pula yang bersifat hukuman,” tambahnya. Hak yang melekat pada basyar mencakup hak perlindungan, hak mendapat makan dan minum, hak berpendapat, hak memiliki harta yang harus dilindungi dari perampasan, hak berkeyakinan dan hak untuk menjaga kesucian keturunannya.
Dalam seminar itu, Ali Munhanif, salah seorang pembicara, juga menyampaikan materi yang berkaitan dengan relativisme HAM dan pentingnya peran negara. Menurutnya, HAM secara budaya bersifat relatif, tidak universal. Keuniversalan HAM, menurut Ali, ada dalam hukum internasional yang pernah dicetuskan dalam Declaration Of Human Right hanyalah konstruksi sosial politik.
Ia menyampaikan bahwa Islam merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Untuk membela hal tersebut, negara-negara Islam menggelar Cairo Declaration of Human Right.
Isi deklarasi tersebut, terang Ali, mempertahankan nilai agama sebagai bagian dari HAM, mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mengintegrasikan unsur budaya luar dan asli, mempunyai kemampuan untuk mengendalikan dan memberi arah pada perkembangan budaya.
Oleh karena itu, problem mendasar dari keragaman budaya ialah bagaimana melembagakan HAM dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebenarnya, tambah Ali, Indonesia perlu mengelola HAM dalam kebhinekaan walaupun perlu waktu dalam menyelaraskan pandangan masyarakat yang berbeda latar belakang etnis, agama, dan ideologi.
Selain diisi oleh Achmad dan Ali, seminar ini juga diisi oleh Mahdi Mazahery, Penasehat Tinggi Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran, dan Hossein Safakhah, Ketua Pusat Studi Islam Azad University of Iran. Kedua pembicara asal Iran ini menyampaikan materi tentang HAM dalam perspektif Sayidina Ali.
Mahdi Mazahery menjelaskan, Ali bin Abi Thalib sudah menyoal prinsip dasar hak asasi manusia pada beberapa ratus tahun lalu. “Jika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam merumuskan HAM memerlukan ratusan buku untuk dikaji dalam mencari arti HAM, maka Sayidina Ali hanya membutuhkan Alquran dan sunnah sebagai pedomannya,” katanya.
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah Mahdi lakukan, Syaidina Ali juga pernah merumuskan 30 prinsip utama HAM. Prinsip tersebut dijabarkan Syaidina Ali dalam sebuah surat yang ditujukan pada Malik Al-Ashad, salah satu pejabat daerah pada masa kepemimpinan Syaidina Ali.
Mahdi juga menceritakan sosok Syaidina Ali dalam memperjuangkan HAM pada masanya. Ia bercerita, Syaidina Ali pernah menjual seluruh tanahnya untuk diberikan kepada para kaum duafa, orang lanjut usia, anak-anak yatim, dan janda.
Melengkapi pembahasan soal HAM, Hossein menambahkan, sebagai manusia ciptaan Allah bukan hanya hak sesama manusia saja yang harus dipenuhi tapi juga ada hak Allah sebagai pencipta. “Hak Allah atas manusia adalah disembah,” tegasnya. (Nida Ilyas)
Average Rating