Read Time:3 Minute, 26 Second
Pesatnya perkembangan media sosial memberi peluang bagi para aktor politik untuk membangun citra dengan memobilisasi pengguna media sosial menjadi buzzer bayaran. Menurut Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta, Zaki Mubarak, buzzerbayaran ini dikerahkan untuk membuat pencitraan, membangun wacana, mengcounterkampanye hitam (black campaign), sekaligus mendongkrak ratingpara politisi yang mereka perjuangkan.
Fenomena buzzer bayaran, tutur Zaki, akan ramai pada momen-momen politik yang strategis, seperti Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Menurutnya, para aktor politik menyadari bahwa kini, pengaruh media sosial lebih kuat untuk menggiring opini publik dibandingkan media cetak. Lantaran, pangsa pasar pembacanya semakin terbatas. Media sosial dianggap lebih efektif digunakan untuk berkampanye.
“Di media sosial sekarang ini sedang berlangsung perang wacana, misalnya ada berita yang mengkritik salah satu capres, dalam waktu 2 jam sudah dikomentari 700 orang,” jelas Zaki. Baginya, perang wacana itu baik, karena masyarakat bisa memiliki gambaran dan mengetahui track record para politisi. Zaki menerangkan, negative campaign tidak selalu jelek asal didukung dengan fakta-fakta.
Hal tersebut, terang Zaki, sebagai penyeimbang dari pencitraan politik iklan-iklan televisi yang hanya me-munculkan sisi baik. Sayangnya, ba-nyak buzzer yang mengabaikan koridor etik dan norma-norma demokrasi dengan memberikan wacana-wacana kebohongan. Tujuannya bukan lagi mencerahkan, tapi untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Mahasiswa Jadi Buzzer Politik
Salah satu mahasiswa UIN Jakarta yang berprofesi sebagai buzzerbayaran adalah Donny (bukan nama sebenarnya). Mahasiswa semester akhir ini sudah tiga minggu menjadi buzzer salah satu capres dan cawapres. “Di sana disebutnya volunteer, tujuannya ya untuk meraih suara maksimal dan memenangkan pemilu,” ujarnya, Jumat (16/05).
Ia bercerita, seorang buzzer harus mengelola lima akun anonim di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Lalu, buzzerharus share dan mengomentari berita-berita yang positif dan mempostingstatus tentang kandidat capres dan cawapres yang mereka bela.
Selain itu, seorang buzzer juga harus melindungi kandidat dari berita dan komentar-komentar negatif. “Intinya, puji, bela, dan serang. Berita baik kita puji dan komentari, berita yang negatif, kita serang balik,” katanya. Ia menjelaskan, semakin banyak menyebar berita dan sering menyebut nama kandidat yang di-bela, akan meme-ngaruhi rating di pencarian Google.
Dalam berkomentar, kata Donny, itu merupakan kreativitas masing-masing buzzer dalam mengolah kata-kata. Dari profesi ini, Donny mendapat penghasilan sesuai upah minum regional.
Berkaitan dengan idealisme, Donny menjelaskan dirinya bekerja secara profesional. “Idealisme cukup di dalam diri saja, kalau untuk meme-nuhi kebutuhan ya lain lagi,” ujarnya. Terkait pilpres, perusahaan tak pernah memaksa buzzer harus mendukung capres yang dibela. “Untuk pilihan hanya guedan Tuhan yang tahu,” tegasnya.
Buzzer bayaran lainnya adalah Indra (bukan nama sebenarnya) yang sudah dua minggu bekerja pada perusahaan konsultan politik salah satu capres dan cawapres. Mahasiswa semester delapan ini dikontrak menjadi buzzer hingga bulan Juni mendatang. Indra bercerita, ia bersedia menerima tawaran menjadi buzzer, karena ingin mencari pengalaman dan motif ekonomi.
Senada dengan Donny, ia pun harus membuat akun anonim di berbagai media sosial untuk dikelola. “Untuk strategi biasanya pakai identitas pe-rempuan, biar banyak yang follow.”Ia juga mengatakan, para buzzer dibagi menjadi tiga sif, dari jam 7 pagi- 4 sore, jam 4 sore-12 malam, dan jam 12 malam-7 pagi. Indra menyebut, ada sekitar 50 orang yang bekerja sebagai buzzerdi perusahaan tersebut.
Indra menjelaskan, para buzzer bertugas mencari berita-berita positif, lalu dikomentari dan share ke media sosial. Setiap akun yang dikelola, komentarnya harus berbeda-beda. Dalam satu sif, Indra bisa 40 kali sharedan komentar berita. Dari pekerjaan sebagai buzzer¸Indra mendapatkan penghasilan Rp2 juta per bulan ditambah fasilitas makan dan snack.
Setiap minggunya, Indra harus membuat laporan dalam bentuk screencaptureuntuk setiap komentar, share, dan postingan. Indra mengakui, profesinya ini bertentangan dengan idealisme. “Saya sudah menerima, profesional saja,”ujar pendukung capres yang ia bela ini.
Terkait mahasiswa yang menjadi buzzer politik, Zaki Mubarak mengatakan, itu bagian dari pelacuran politik. Patut disayangkan jika mahasiswa bersedia mengorbankan diri menjual idealisme dan kebenaran demi uang. Lantaran hal tersebut bertentangan dengan spirit mahasiswa yang mengedepankan moral dan kebenaran. “Ironi, itu yang disebut pengkhianatan intelektual,” ujarnya.
Zaki menjelaskan, ada tiga faktor perusahaan tertarik menjadikan mahasiswa sebagai buzzer. Pertama, mahasiswa mempunyai waktu yang cukup, kedua, honornya lebih murah, dan ketiga, kemampuan mengemas dengan bahasa ilmiah akademik. Untuk membuat opini-opini palsu juga harus punya keterampilan, biar seolah-olah benar.
(Anastasia Tovita)
Average Rating