Salah satu kegiatan mahasiswa asing dalam acara Home Coming Day 2012 silam. Mereka memainkan permainan Adu Ketangkasan Kelompok. |
Read Time:2 Minute, 42 Second
Bukan hal mudah hidup sendirian di negeri orang. Perbedaan bahasa dan budaya menjadi kendala yang pasti ditemui. Menjadi mahasiswa asing merupakan pilihan yang menantang. Mereka harus berjuang untuk belajar dan beradaptasi dengan budaya lokal.
Saat ini, jumlah mahasiswa asing di UIN Jakarta dari angkatan 2009 hingga 2013 berjumlah 102 orang. Berdasarkan data dari Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PUSTIPANDA) UIN, sebanyak 84 orang menempuh jenjang S1 dan sisanya S2. Seluruh mahasiswa asing tersebut tergabung dalam International Student Association(ISA).
David Toni Soares, Mahasiswa Akuntansi UIN Jakarta asal Timor Leste, salah satunya. Tahun 2010 silam, David menginjakkan kakinya di UIN Jakarta. Saat itu, UIN menjadi tempat yang sangat asing baginya. “Saya merasa sendirian, sepertinya hanya saya saja orang Timor,” kenangnya saat diwawancarai di depan Aula Student Center, Jumat (16/5).
Meski di lingkungan baru ia me-nemui banyak hal berbeda, semangat David tak surut untuk terus berusaha beradaptasi. Hal yang serupa juga dialami oleh Artur Gubaydullin, mahasiswa asal Rusia yang sekarang tengah menempuh program S2. Saat pertama datang ke UIN ia mengalami kendala bahasa. Ia hanya bisa sedikit bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Walau sudah belajar bahasa Indonesia selama tiga bulan di Pusat Bahasa, Artur masih tetap mengalami kendala dalam bercakap. “Untungnya, mahasiswa UIN banyak yang bisa berbahasa Inggris dan Arab jadi sangat membantu sekali,” jelas Artur dalam bahasa Inggris saat ditemui di salah satu restoran cepat saji dekat Polisi Sektor (Polsek) Ciputat, Kamis (22/5). Ia juga merasa terbantu dengan dosen yang di akhir kelas memberikan ke-simpulan berbahasa Inggris.
Selain bahasa, makanan juga menjadi kendala yang terkadang menyusahkan beberapa mahasiswa asing. David sempat kaget dengan makanan di Indonesia yang serba pedas. Di Timor Leste, makanan tidak pakai banyak bumbu seperti di sini. “Tapi sekarang sudah terbiasa, apa pun makanannya sikat saja,” ucapnya beriring tawa.
Di samping itu, ada pula masalah lain yang membuat beberapa mahasiswa asing merasa ditelantarkan. Misalnya, masalah beasiswa yang turunnya terlambat. Tahun 2013 lalu, beasiswa dari Kementerian Agama Republik Indonesia yang menyokong seluruh biaya kuliah David terlambat selama delapan bulan.
Hal ini membuat David dan teman-temannya sesama penerima beasiswa merasa kecewa. “Bayangkan, kami ini sendirian di negeri orang dan beasiswa tidak turun. Ini sangat mengerikan,” kata David dengan nada sedikit meninggi.
David dan kawan-kawannya tidak bisa membayar biaya kuliah dan isi KRS. “Bahkan, saat itu kami sempat berniat untuk minta dipulangkan saja ke negara masing-masing, kami merasa ditelantarkan,” ucapnya. Mereka tak tinggal diam. David dan kawan-kawan berulang menanyakan kepastian kabar beasiswanya ke Kementerian Agama RI, tapi tak pernah ada jawabannya yang pasti.
Keberadaan ISA sebagai wadah yang mempersatukan para mahasiswa asing cukup membantu. “Misalnya di acaraHome Coming Day, Kami berbagi cerita tentang kendala-kendala yang pernah dihadapi dan bagaimana cara mengatasinya,” tutur David yang juga menjabat sebagai Ketua ISA sejak tahun 2013.
ISA juga mengkoordinir acara, Orientation Day, Student Cultural Trip, Cultural Night dan Study Bodies. Untuk mengkoordinir acara-acara itu, ISA dibantu oleh International Office, sekarang berganti nama menjadi Pusat Layanan Kerjasama Internasional (PLKI). Kegiatan-kegiatan tersebut diadakan demi menciptakan rasa solidaritas di antara mahasiswa asing juga untuk mempermudah masa adaptasi mereka dengan budaya lokal.
(Azizah Nida Ilyas)
Average Rating